Rabu, 24 Agustus 2011

Disusun, Rencana BBG untuk Transportasi

Disusun, Rencana BBG untuk Transportasi
Maria Natalia | Heru Margianto | Senin, 17 Januari 2011 | 14:26 WIB

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO Pengemudi bajaj berbahan bakar gas menunggu giliran mengisi bahan bakar di SPBG Jalan Pemuda, Jakarta Timur.
JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) menyusun rencana aksi penyediaan bahan bakar gas (BBG) untuk transportasi di Indonesia. BBG adalah bahan bakar ramah lingkungan.
"Perlu koordinasi dari semua pihak terkait untuk mendukung peralihan penggunaan bahan bakar kendaraan dari bahan bakar minyak (BBM) ke BBG untuk transportasi," jelas Direktur Transportasi Bappenas, Bambang Prihartono, di Jakarta, Senin (17/01/2011).
Rencana aksi ini melibatkan pihak-pihak terkait seperti Departemen Perhubungan, Departemen Lingkungan Hidup, Pertamina, Perusahaan Gas Negara (PGN), Departemen Keuangan, serta organisasi-organisasi yang bergerak di bidang transportasi dan bahan bakar.
Ia menuturkan, terdapat sejumlah persoalan dalam pemanfaatan BBG. Misalnya, meningkatnya permintaan belum diimbangi dengan ketersediaan BBG. Jalur pipa gas di sejumlah kota di Indonesia masih sangat terbatas.
Persoalan lain adalah menyangkut harga. Anggota Dewan Energi Nasional, Widjajono Partowidagdo, mengungkapkan, harga BBG lebih murah dibanding BBM yang disubsidi pemerintah.
"Harga BBG Rp 3.100 per liter, lebih murah dari premium yang Rp 4.500 per liter. Harganya tidak kompetitif. Bagaimana swasta mau ikut ambil bagian dari bisnis ini kalau dirasa tidak menguntungkan. Kalau mau percepatan pemanfaatan gas harus juga dipikirkan harga yang bagus," kata dia.
Untuk memperluas distribusi gas, pemerintah rencananya akan membangun jalur pipa gas di beberapa kota yang dekat dengan produksi gas bumi. Selain itu, direncanakan pula penambahan jumlah SPBG di perkotaan dan pengembangan angkutan umum berbahan bakar gas.
Terkait rencana ini, pemerintah belum menetapkan taget waktu. Sekretaris Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Edi Purnomo mengatakan, yang paling penting saat ini adalah memperbaiki infrastruktur.
"Kalau sudah ada infrastrukturnya, pasti akan berjalan cepat. Belum ditargetkan waktunya kapan untuk beberapa kota, Jakarta sudah mulai 2011 ini, yang lain menyusul," ujar dia.
 

Selasa, 23 Agustus 2011

Pertamina Dukung Kendaraan Umum Tinggalkan Premium
Jumat, 26 November 2010 | 16:19
[JAKARTA] PT Pertamina (Persero) mendukung usulan agar kendaraan umum untuk menggunakan bahan bakar gas atau listrik ketimbang premium. Bahkan, perusahaan minyak negara ini menyatakan kesiapannya untuk mengakomodasi kebutuhan itu.

Demikian dikatakan VP Corporate Communication Pertamina Muhamad Harun dalam dialog terbatas harian Investor Daily dengan topik Carut Marut Ketersediaan BBG untuk Transportasi Umum di Jakarta, Siapa yang Salah?, di Jakarta, Jumat (26/11).

Namun, kesiapan Pertamina itu harus ditunjang dengan adanya permintaan gas dari masyarakat. "Kalau supply-nya diobrak-abrik tapi demand-nya tidak ada maka SPBG (statiun pengisi bahan bakar gas) kita akan mati suri," ungkapnya.

Harun menambahkan, pada tahun 1982 Pertamina memiliki 22 SPBG namun harus tutup satu per satu akibat minimnya permintaan. Untuk itu, imbaunya, harus ada pembenahan di sektor infrastruktur dan juga insentif yang salah satunya berupa pajak.

"Perlu ada kebijakan yang konsisten dalam mengimplementasikan BBG (bahan bakar gas). Pemerintah memang sudah jelas arahannya tapi tinggal kita tunggu dituangkan ke kebijakan," tandasnya.

Kendati demikian, saat ini pihaknya akan komit untuk merevitalisasi delapan SPBG untuk memenuhi permintaan yang akan datang. Adapun, Pertamina menyatakan sudah ada alokasi khusus gas untuk PLN dan PGN yang akan beroperasi 2011.

Sementara itu, dari sisi penghematan, pengalihan Premium ke BBG menurut pengamat minyak dan gas ITB Widjajono Partowidagdo bisa mendorong subsidi BBM yang nilainya puluhan triliun dalihkan ke pembangunan infrastruktur.

Untuk itu, perlu diselesaikan segera soal pasokan, infrastruktur, permasalahan harga gas di kota-kota besar di Indonesia. Bahkan, perlu diwajibkan kendaraan umum memakai gas atau listrik dan diproduksi besar-besaran sepeda motor listrik. Kemudian, Premium ditiadakan sehingga kalau mau memakai mobil pribadi harus memakai Pertamax yang notabene tidak disubsidi. [O-2]

Pemenuhan Energi Negeri Kaum Mullah Dari Minyak Bumi Hingga Nuklir

Listrik Indonesia.com
Author : Administrator
Pemenuhan Energi Negeri Kaum Mullah  Dari Minyak Bumi Hingga Nuklir
Amerika Serikat dan Eropa mengecam Iran terkait program nuklir. Namun Iran terus mengembangkan nuklir terutama untuk kebutuhan listrik dalam negerinya.
Pengembangan sektor energi dan kelistrikan Iran, dari waktu ke waktu terus berkembang pe­sat. Sebelumnya, secara konvesional Iran hanya mengandalkan minyak bumi dan gas sebagai ba­han baku pembangkit listrik. Kini Iran telah mengembangkan pembangkit nuklir sebagai sumber energi listrik.
Kelistrikan Iran terus mengalami pengembangan dan peningkatan sejak 25 tahun lalu. Pengelolaan listik dan sumber bahan baku energi minyak dikelola secara bijak. Dari hanya berproduksi sebesar 7.000 megawatt, sekarang Iran telah mampu menghasilkan listrik berkekuatan 49.000 megawatt (MW).
Bahkan, 20 tahun ke depan diprediksi Iran sanggup menghasilkan 110.000 MW. Tak hanya minyak bumi, Iran juga berupaya mengembangkan pembangkit listrik mikrohidro yang sekarang produksinya mencapai 10 MW sampai 50 MW. Biaya investasi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) relatif lebih murah dibandingkan dengan teknologi pembangkit listrik sejenis dari negara lain.
Negeri Kaum Mullah itu memiliki kemandirian energi yang kokoh. Pasalnya minyak bumi dan gas menjadi bahan baku utama pembangkit listrik. Terlebih di kawasan Timur Tegah, Iran termasuk negara yang memiliki cadangan minyak bumi terbesar di dunia.
Pada 2010, cadangan minyak Iran diposisikan nomor empat terbesar di dunia setelah Saudi Arabia, Venezuela, dan Irak.Sebelumnya, sampai tahun 2009, Iran masih dianggap sebagai negara yang memiliki cadangan minyak terbesar ketiga di dunia, di bawah Kerajaan Saudi Arabia dan Venezuela.
Tetapi belakangan, setelah Irak mengumumkan posisi cadangan minyak mereka yang baru pada awal Oktober 2010 yang sebesar 143,1 miliar barel, posisi tersebut kini diduduki Irak.
Berdasarkan data dari organisasi produsen msinyak dunia atau OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries), Iran tercatat memiliki cadangan minyak sebesar 137,01 miliar barel. Angka tersebut mewakili 12,9% cadangan minyak dunia. Jauh sebelumnya lagi, Iran bahkan pernah ditempatkan oleh Oil and Gas Journal berada di posisi kedua di bawah Saudi Arabia pada 2006.
Ditilik dari sisi produksi, kontribusi Iran bagi dunia internasional, juga sangat besar. Pada 2005, produksi minyak mentah Iran tercatat 3,94 juta barrel per hari bpd (barrel per day) atau mewakili 5% produksi minyak mentah dunia.
Sepanjang 2005 hingga 2008, kapasitas produksi minyak mentah di Iran meningkat menjadi di atas 4,301 juta bpd. Pada 2009, kinerja produksi minyak mentah Iran diperkirakan sebesar 4,049 juta bpd.
Selain dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk energi listrik, minyak bumi Iran seperti juga di negara-negara lain dimanfaatkan untuk konsumsi kendaraan bermotor. Menurut pengamat energi, Widjajono Partowidagdo, pemerintah Iran sangat berkepentingan untuk menjaga cadangan minyak mereka.
Bahkan pemerintah Iran menjual harga bahan bakar minyak (BBM) kepada warganya sesuai dengan harga keekonomian. Jadi, harga BBM-nya cukup mahal. “Itu sebabnya, warga Iran tidak bisa semaunya mengkonsumsi BBM karena harganya terbilang mahal,” terang Widjajono.
Tak hanya untuk kebutuhan dalam negeri, Iran juga sangat aktif menggenjot ekspor minyak bumi ke berbagai negara. Iran merupakan salah satu negara pengekspor minyak mentah utama dunia.
Bahkan, pada 2009 lalu, ekspor minyak mentah Iran ke negara-negara Eropa mengalami peningkatan dua kali lipat dari tahun 2008. Sekarang, rata-rata ekspor minyak mentah Iran setiap harinya mencapai 2 juta barrel.
Lalu, di mana lokasi strategis minyak bumi dan gas di negara Ayatulloh Khomeini tersebut?
Berdasarkan data-data intelejen energi internasional, wilayah strategis sumber energi Iran terbagi dua. Ada wilayah yang kaya akan minyak bumi, dan ada wilayah yang kaya dengan cadangan gas.
Untuk minyak bumi, wilayah sumber energi Iran terletak bagian barat atau oleh kalangan intelijen energi dunia disebut sebagai wilayah Khuzestan. Meskipun, di wilayah tersebut juga ada cadangan gas.
Sementara itu, wilayah strategis cadangan gas alam Iran berada pada tiga tempat. Daerah Pars Selatan dengan cadangan gas sebesar 280-500 Tcf dan 17 miliar barrel kandungan minyak. Daerah Pars Utara sebesa 50 Tcf, dan di wilayah Kangan-Nar dengan posisi cadangan gas sebesar 23.7 Tcf.
Pars Selatan merupakan daerah yang dijadikan proyek prestisius pengembangan gas di Iran. Kilang gas di Pars Selatan, merupakan proyek energi gas terbesar bagi negara tersebut. Nilai investasi proyek tersebut diperkirakan mencapai 15 miliar dolar Amerika (AS). Pengembangan proyek gas Pars Selatan tersebut diyakini berkontribusi sebesar US$11 miliar untuk jangka waktu 30 tahun.
Beberapa perusahaan energi multinasional dari berbagai negara, terlibat dalam pengembangan proyek tersebut. Di antaranya, perusahaan asal Rusia-Gazprom, dari Petronas- Malaysia, ENI, LG- Korea Selatan dan Norwegia, Statoil.
Saat ini, kendati perusahaan-perusahaan minyak dari negara-negara Barat banyak yang hengkang dari Iran, namun beberapa negara masih banyak yang tertarik masuk ke Iran. Salah satunya adalah China. Diperkirakan, nilai investasi perusahaan-perusahaan asal China di bidang minyak dan gas ke Iran, telah mencapai US$ 40 miliar.
Bahkan, Iran melalui The Iranian Central Oilfields Company (ICOFC), berencana akan meningkatkan produksi gasnya menjadi 325 juta meter kubik gas per hari. Iran saat ini memiliki cadangan gas sebesar 29 triliun meter kubik atau sekitar 17% dari cadangan gas dunia.
Kebijakan Nuklir Damai
Selain minyak bumi dan gas, Iran juga gencar mengembangkan energi alternatif. Salah satunya, yang juga menjadi salah satu andalan adalah pengembangan energi nuklir. Kendati mendapat tudingan miring, Iran tetap kukuh mengembangkan nuklir sebagai sumber energi listrik di negara tersebut.
Tambang Saghand yang berlokasi di Iran Tengah, tepatnya sekitar 300 mil di Selatan Teheran, merupakan sumber utama uranium Iran. Kapasitas produksinya mencapai 132.000 ton bijih uranium per tahun. Secara total, cadangan uranium di tambang tersebut diperkirakan mencapai 1,73 juta ton.
Selain itu, Iran juga punya cadangan uranium lain di selatan Bandar Abbas, namun kapasitasnya lebih kecil. Tahun 2006, pemerintah Iran juga mengumumkan penemuan lokasi cadangan uranium baru di Khoshoomi, Charchooleh, dan Narigan.
Menurut Presiden Iran Mahmoed Ahmadinejad, pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) bukan sekadar tumpuan masa depan pemenuhan kebutuhan energinya. PLTN juga simbol penguasaan teknologi canggih.
“Memperoleh teknologi nuklir untuk tujuan damai adalah tuntutan seluruh rakyat Iran. Dan pejabat sebagai wakil rakyat, harus berupaya sekuat tenaga untuk merealisasikan tuntutan tersebut,” tegas Ahmadinejad menjelaskan mengenai program nuklir Iran.
Ahmadinejad dikenal sosok yang tegas dan kharismatik. Kendati sederhana, namun dia sangat berani.
Termasuk jika kebijakan yang diambilnya harus bersinggungan dengan negara adidaya Amerika Serikat (AS). Meskipun Iran dikenai sangsi Internasional, terkait dengan program pengayaan nuklir, namun Iran bergeming menjalankan program nuklir mereka.
Setelah cukup lama berupaya, akhirnya Iran akan meng­operasikan PLTN pertama di negara tersebut. Lokasi PLTN tersebut berada di dekat kota pelabuhan teluk, Bushehr. Langkah pengembangan nuklir damai Iran, memang merupakan antisipasi terhadap potensi habisnya bahan baku minyak bumi Iran.
Apalagi, konsumsi listrik masyarakat Iran cukup besar, yakni sekitar 145,1 miliar kWh. Belum lagi kalau dipertimbangkan dengan jumlah penduduk Iran yang akan terus bertambah dan menjadi sebanyak 100 juta orang pada 2025.
Alhasil, Iran harus mengejar pertumbuhan daya listrik hingga sebesar 70.000 MW pada 2021. Bertolak dari hal tersebut, akhirnya pemerintahan Iran berupaya mengembangkan PLTN untuk mengejar keamanan pasokan listrik domestik.
Iran menetapkan target penyediaan pasokan energi listrik mereka pada 2021, sebagian besar akan dihasilkan dari energi alternatif. Perincianya sebanyak 10 % akan berasal dari tenaga nuklir, 20% dari hidro (tenaga air), 60 % dari gas, dan sisanya dari sumber energi lain.Selain pengembangan listrik di dalam negeri, bersama dengan Rusia, dan China, Iran terus berupaya berinvestasi pada sektor pembangkit listrik.
Kesuksesan Iran mengembangkan program pembangkit listrik berbasis nuklir, pada akhirnya menginspirasi negara lain untuk melakukan hal yang sama. Salah satunya negara asal Afrika, yakni Sudan, bakal mengikuti jejak Iran.
Menurut Presiden Sudan Omar al-Bashir, negara mereka belajar dari Iran mengenai sumber energi nuklir untuk kebutuhan listrik. Sudan memang berencana membangun reaktor nuklir, sekaligus PLTN yang rencananya akan selesai pada 2020. Untuk mengantisipasi tudingan miring Internasional, Sudan akan bekerjasama dengan Lembaga Energi Atom Internasional.

Saatnya Beralih ke BBG 

lnvestor Oaily/Oavid Gita Row
Oleh Alex Dungkal dan Abdul Aziz
JAKARTA - Pemerintah harus menjamin dana hasil penghematan subsidi bahan bakar minyak (BBM) digunakan untuk membiayai program konversi energi dari BBM ke bahan bakar gas (BBG). Selain murah dan bersih, penggunaan BBG akan memperkokoh ketahanan energi nasional, mengingat pasokan gas bisa dipenuhi seluruhnya dari produksi dalam negeri.
Dengan demikian, program pembatasan BBM bersubsidi tidak terbatas pada program jangka pendek berupa penghematan BBM semata, tapi lebih berorientasi pada jangka panjang, yakni memanfaatkan energi yang murah, ramah lingkungan, dan terjamin kesinambungannya. Pemerintah juga bisa menggunakan dana-dana menganggur APBN (undisbursed budget) untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur BBG, baik untuk sektor transportasi, rumah tangga, maupun industri.
Demikian rangkuman wawancara Investor Dailydengan anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Agustiawan, guru besar Perminyakan dan Gas Institut Teknologi Bandung (ITB) Widjajono Partowidagdo, Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Aziz, pengamat ekonomi Econit Hendri Saparini, Pit Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro, dan Ahmad Safrudin dari Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB). Mereka dihubungi secara terpisah di Jakarta, Selasa (8/3).
Harga BBG jauh lebih murah ketimbang BBM. Berdasarkan catatan Dewan Energi Nasional (DEN), harga BBG untuk transportasi tanpa subsidi hanya Rp 3.500-3.600 per liter setara premium (LSP), sedangkan harga premium tanpa subsidi mencapai Rp 6.000 per liter. BBG juga sangat ekonomis untuk bahan bakar pembangkit listrik. Pembangkit listrik yang menggunakan solar biayanya mencapai 25 sen dolar per kWh, padahal jika menggunakan gas hanya 8 sen dolar AS.
Dalam APBN 2011, total subsidi energi mencapai Rp 136,6 triliun, terdiri atas subsidi BBM dan bahan bakar nabati (BBN) sebesar Rp 78,35 triliun, subsidi elpiji Rp 17,6 triliun, dan subsidi listrik Rp 40,7 triliun.
Data Institute for Transportation and Development Policy
(TTDP) menyebutkan, pemakaian BBG hanya butuh subsidi maksimum Rp 100 miliar per tahun untuk sektor transportasi umum di DKI Jakarta, atau hanya 0,17% dari besaran subsidi premium untuk kendaraan-pribadi di Jakarta yang mencapai Rp 42 triliun.
Di sisi lain, produksi gas juga melimpah. Produksi gas Pertamina saat ini mencapai 1.450 juta kaki kubik per hari (mmscfd), sedangkan sektor transportasi hanya membutuhkan BBG 20-30 mmscfd.
Pemerintah sedang menggodok tiga opsi untuk menyiasati gejolak harga minyak mentah dunia. Pertama, menaikkan harga premium Rp 500 per liter. Dalam opsi ini, kendaraan angkutan umum akan mendapatkan dana pengembalian (cash back) setara dengan kenaikan harga. Opsi ini akan menghasilkan penghematan sekitar Rp 20 triliun. Kedua, mengurangi penggunaan konsumsi premium dengan mewajibkan kendaraan pribadi beralih ke pertamax. Opsi ini akan menghasilkan penghematan Rp 5 triliun jika hanya diberlakukan di Jabodetabek. Ketiga, melakukan penjatahan konsumsi premium dengan menggunakan sistem kendali. Penjatahan ini tidak hanya berlaku untuk angkutan umum, tapi juga mobil pribadi.
Dana Menganggur
Menurut Harry Azhar Aziz, pemerintah bisa menggunakan dana nganggur untuk membiayai berbagai proyek pembangunan infrastruktur, termasuk infrastruktur gas. "Berarti, untuk mendukung program diversifikasi energi, pemerintah sebetulnya tak perlu mencari sumber pendanaan di luar APBN," katanya.
Harry mengungkapkan, Komisi XI DPR akan melacak dana-dana ngangguryang selama ini mengendap di Bank Indonesia (BI). "Saya dapat informasi dari sumber saya bahwa ada rekening pemerintah di BI yangnganggur, nilainya sekitar Rp 250 triliun," tuturnya.
Dia menambahkan, pemanfaatan dana-dana menganggur tak hanya mempercepat realisasi pembangunan proyek-proyek infrastruktur, tapi juga turut mendorong perekonomian nasional. "Multiplier effect proyek-proyek infrastruktur itu kan sangat besar, khususnya dalam menyerap tenaga kerja dan mengurangi angka kemiskinan," ucapnya.
Harry mengaku belum tahu persis status rekening senilai Rp 250 triliun milik pemerintah di BI itu. "Saya mendapat informasi tersebut dari sumber saya. Itu yang akan kami lacak. Kami akan meminta menteri keuangan mengklarifikasi, itu dana apa, statusnya bagaimana, dan bisa digunakan atau tidak," ujarnya.
Hendri Saparini mengungkapkan, dalam kondisi bujet yang serbaterbatas seperti sekarang, pemanfaatan dana-dana menganggur untuk program prioritas, seperti BBG, sangat mendesak dilakukan. "Dulu ada yang namanya rekening 609 untuk menampung dana-dana pemerintah di BI. Sekarang mungkin namanya sudah ganti lagi," ucap dia.
Pemerintah, kata Hendri, selama ini terkesan tidak transparan mengenai status dan penggunaan dana-dana tersebut "Seharusnya itu diungkapkan kepada publik dan bagaimana pemanfataannya," tegasnya.
Menurut Pit Kepala BKF Bam-bang Brodjonegoro, pemerintah berencana menggunakan sebagian dana sisa anggaran lebih (SAL) untuk menomboki kebutuhan subsidi BBM yang kemungkinan membengkak.
"Selain untuk menutup subsidi BBM, SAL yang berjumlah sekitar Rp 96,8 triliun akan digunakan untuk keperluan dana awal pelaksanaan APBN dan melunasi kurang bayar subsidi listrik pada 2009," kata Bambang.
Program Go Gas
Anggota DEN Herman Agus-tiawan menegaskan, pemerintah harus memprioritaskan pasokan gas untuk sektor transportasi umum. "Pengalihan dari BBM ke BBG merupakan keharusan. Pengadaan infrastrukturnya pun tidak sulit SPBG milik Pertamina saja sudah cukup. Apalagi ada pula swasta yang terjun ke bisnis SPBG," katanya.
Di sisi lain, menurut dia, pemerintah perlu membenahi dan menambah terminal gas alam cair (liquefied naturalgas/LNG) dan mother station. "Untuk menyiasati lamanya perbaikan atau pembangunan infrastruktur, pemerintah bisa menggunakan mobile station, yaitu mobil tangki gas yang berfungsi sebagai SPBG. Menggunakan mobile station tidak membutuhkan infrastruktur seperti pipa transmisi dan distribusi," ujarnya.
Herman menjelaskan, DEN dan pemerintah sepakat merevitalisasi penggunaan BBG untuk sektor transportasi. Kesepakatan itu diimplementasikan lewat pencanangan Program Go Gas pada 23 April mendatang.
"Program pencanangan tersebut akan diikuti peresmian revitalisasi 20 SPBG di Palembang, Jakarta, Bogor, Surabaya, dan Denpasar," tutur Herman yang ditunjuk menjadi ketua Program Go Gas.
Menurut Herman, untuk tahun pertama diharapkan 20% kendaraan di Jakarta beralih ke BBG. Satu unit kendaraan yang menggunakan 40 liter BBM membutuhkan gas maksimal 15 juta kaki kubik per hari {million standard cubic feet per t/ay/mmscfd).
Untuk mendorong penggunaan BBG, kata Herman, pemerintah juga perlu memberikan insentif untuk converter kit Thailand sudah melaksanakan ini dan ternyata berhasil," ujarnya.
Dia menambahkan, satu kendaraan yang menggunakan 10 liter
BBM bisa berhemat sekitar Rp 15.000 bila beralih ke BBG. "Pengalihan BBM ke BBG menguntungkan pemerintah dan masyarakat. Pendapatan sopir angkutan umum naik. Pemerintah bisa menghemat anggaran," tuturnya.
Ahmad Safrudin dari KPBB mengungkapkan, kebutuhan gas untuk transportasi umum secara nasional berkisar 2 juta kiloliter setara premium (klsp). "Bila 25% pengguna BBM beralih ke BBG, volumenya meningkat menjadi 5 juta klsp," tandasnya.
Ahmad menambahkan, penggunaan mobile station sangat efektif untuk menyiasati masalah infrastruktur. "Untuk membangun infrastruktur gas dibutuhkan setidaknya total dana Rp 80 triliun. Itu lebih kecil ketimbang jumlah subsidi BBM," tegasnya.
Guru Besar Perminyakan dan Gas dari ITB Widjajono Partowidagdo mengatakan, Indonesia terlalu fokus bicara minyak yang harganya mahal dan lupa soal energi alternatif, seperti gas bumi, yang justru jauh lebih murah dan ketersediaannya begitu berlimpah di negeri kita.
"Kita pasti takkan berbicara ha-bis-habisan soal subsidi BBM kalau kita beralih ke BBG. Anggaran negara pun takkan tergerus terus untuk subsidi BBM kalau kita kembangkan energi alternatif yang jauh lebih murah," katanya.
Dalam banyak hal, menurut dia, gas jauh lebih murah. "Dari sisi produksi, setiap produksi US$ 1 MSCFgas setara dengan USS 6 per barel minyak. Itu artinya, biaya gas jauh lebih murah dari minyak," tandasnya.
Program BBG untuk transportasi umum di Jakarta sudah berulang kali digulirkan sejak 2002, tapi jalan di tempat. Sedangkan program BBG untuk rumah tangga (konversi minyak tanah ke elpiji) sudah berjalan, meski sempat memicu kontroversi akibat banyaknya insiden ledakan tabung.
Program BBG tak berjalan akibat keterbatasan jumlah SPBG, adanya dua harga jual di SPBG di Jakarta, yakni Rp 2.562 dan Rp 3.600 per LSP, serta kualitas BBG yang buruk.
Raker Ditunda
Sementara itu, Komisi VII DPR, kemarin, memutuskan untuk menunda rapat soal rencana pembatasan konsumsi BBM bersubsididengan pemerintah. Rapat ditunda karena Komisi VII DPR ingin mendalami terlebih dahulu hasil kajian tambahan dari Tim Kajian Dampak Pembatasan BBM yang dipimpin Anggito Abimanyu.
"Komisi VII ingin supaya hasil kajian tambahan disampaikan sepenuhnya oleh pemerintah dan harus dikemas dengan fokus dari pemerintah," ujar Ketua Komisi VH DPR Teuku Riefky Harsya. Rapat kerja itu dihadiri Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh, Dirjen Migas Evita H Legowo, dan Anggito Abimanyu.
Menurut Teuku, dalam kaitan dengan pembatasan BBM, banyak aspek yang perlu dilihat, baik itu dari sosial, porak, geopolitik, keuangan negara, maupun APBN. "Soal sikap dari Komisi VII, itu sangat tergantung pemaparan pemerintah nanti," tutur Teuku Riefky.
Dia menambahkan, sejauh ini Komisi VII DPR dan pemerintah masih berpegang pada kesepakatan 13 Desember 2010 bahwa pengalokasian BBM bersubsidi harus ditata ulang agar tepat sasaran.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Effendy Simbolon menolak memberikan waktu kepada Anggito untuk menyampaikan hasil kajiannya. "Raker ini kan dengan pemerintah, bukan tim pengkaji," katanya.
Penolakan juga dilontarkan Dito Ganindito, anggota Komisi VTI dari Fraksi Golkar. "Pemerintah yang seharusnya menyampaikan hasil kajian, bukan tim independen," ujarnya.
Pemerintah Siap
Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh menegaskan, secara teknis pemerintah telah siap melaksanakan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi pada 1 April 2011 sesuai jadwal. "Pemerintah telah siap secara teknis. Pemerintah telah siap siap untuk pelaksanaan pengaturan BBM bersubsidi," tandasnya.
Darwin mengatakan, guna menyiapkan pengaturan pembatasan BBM bersubsidi, pemerintah telah membentuk lima kelompok kerja (Pokja), yaitu Pokja Operasional dengan penanggung jawab Pertamina, Pokja Pengawasan dengan penanggung jawab BPH Migas, Pokja Sosialisasi dengan penanggung jawab Kementerian ESDM, dan Pokja Sosial Ekonomi dengan penanggung jawab Bappenas.
Selain itu, pemerintah telah me-ngintensifikasikan monitoring dan evaluasi perkembangan harga minyak. Soalnya, pelaksanaan program tersebut dipengaruhi perkembangan harga minyak dunia. (did/rad/cO5)

Iklim Investasi Migas Indonesia Dinilai Kurang Menarik

Iklim Investasi Migas Indonesia Dinilai Kurang Menarik  

TEMPO/Seto Wardhana
TEMPO Interaktif, Jakarta - Salah satu faktor penyebab terus turunnya produksi minyak nasional dan kurang berkembangnya industri minyak dalam negeri disebabkan oleh iklim investasi di sektor perminyakan dan gas dalam negeri yang masih kurang menarik.

"Minyak kurang berkembang karena sistem fiskal dan iklim investasi kita kurang menarik," kata Widjajono Partowidagdo, anggota Dewan Energi Nasional sekaligus Guru Besar Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung , dalam Seminar Energi di Masa Depan Tantangan dan Pilihan Kebijakan, Selasa 10 Mei 2011.

Tidak menariknya iklim investasi migas di dalam negeri, di antaranya disebabkan oleh sistem fiskal yang tetap. Menurut sistem ini, nilai pembagian hasil antara kontraktor dan negara telah ditentukan terlebih dahulu. "Tidak seperti di Malaysia, kalau hasil produksinya kecil pemerintah dapat bagi hasilnya kecil. Kalau produksi besar dapatnya juga besar," kata dia.

Pola tersebut juga diterapkan oleh negara penghasil minyak di Asia lainnya, termasuk Papua Nugini. Oleh sebab itu, investor tertarik untuk menanamkan modalnya di negara tersebut. Perminyakan di negara itu pun dapat tertolong.

Belum lagi masalah birokrasi, seperti perizinan yang sulit, pembebasan lahan, persoalan tumpang tindih yang semakin membuat para investor agak berat menanamkan modalnya di Indonesia. Padahal, dengan keterbatasan teknologi saat ini peran investor masih dibutuhkan untuk meningkatkan produksi nasional.

"Kalaupun ada investor yang tertarik, mereka akan lebih berkonsentrasi di lapangan yang telah berproduksi," ujarnya.

Buruknya iklim investasi minyak dan gas Indonesia juga diakui oleh Lembaga Survei Independen Kanada. Berdasarkan data yang dimiliki mereka, kondisi investasi migas Indonesia berada di peringkat 111 dari 113 negara yang ada di dunia. Lebih buruk dari Kamboja,Thailand, bahkan negara-negara Afrika seperti Madagaskar dan Suriname.

Seperti diketahui, produksi minyak nasional kita saat ini hanya menyentuh angka rata-rata 916 ribu barel per hari, jauh di bawah target APBN 2011 yang ditetapkan sebesar 970 ribu barel per hari. Angka segitu tidak mampu menutupi kebutuhan konsumsi BBM yang dalam seharinya dapat mencapai hingga 1,3 juta barel.

Sementara, cadangan pasti minyak kita saat ini diperkirakan hanya sekitar 4,5 miliar barel dan akan habis dalam waktu 12 tahun mendatang apabila tidak terdapat kegiatan eksplorasi besar selama rentan waktu tersebut.

Harga Minyak Bisa Lambungkan Defisit Rp18,8 T

Harga Minyak Bisa Lambungkan Defisit Rp18,8 T 
Media Indonesia.com
Rabu, 11 Mei 2011 00:00 WIB     

DEFISIT anggaran negara bisa bertambah Rp18,8 triliun akibat membengkaknya subsidi BBM yang terpicu harga minyak dan tidak tercapainya target produksi (lifting) minyak.

Pemerintah diimbau segera mengambil keputusan untuk mengatasi kondisi tersebut. Umpamanya dengan menaikkan harga BBM subsidi atau mengonversi BBM ke bahan bakar gas (BBG).

Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan dan anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Widjajono Partowidagdo mengatakan itu, kemarin, di Jakarta.

Menurut Deni, dengan kondisi harga minyak di atas US$100 per barel dan lifting minyak yang hanya 892 ribu barel per hari (bph) selama kuartal I 2011, defisit anggaran bisa bertambah Rp18,8 triliun.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011 mematok harga minyak Indonesia US$80/barel dan lifting 970 ribu bph. Adapun subsidi BBM dipatok sebesar Rp95,9 triliun.

"Dengan membiarkan kondisi seperti sekarang ini, akan semakin besar anggaran subsidi yang dinikmati masyarakat kelas menengah ke atas melalui konsumsi BBM mereka," ungkapnya.

Berdasarkan penelitian CSIS, BBM subsidi hanya dinikmati 1% keluarga miskin.

Karena itu, Deni menilai saat ini merupakan momentum yang tepat untuk mulai mengurangi subsidi BBM. Hal tersebut mengingat kondisi ekonomi tengah membaik dengan pertumbuhan cukup tinggi dan banyak investasi masuk.

Deni memperhitungkan harga BBM subsidi jenis premium seharusnya ada di Rp6.000/liter atau naik Rp1.500/liter dari harga saat ini.

Secara terpisah, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Widjajono Partowidagdo mengatakan masalah BBM yang terjadi di Indonesia saat ini sebenarnya bisa diatasi dengan mengonversi BBM ke BBG.

Namun, untuk itu, pemerintah harus terlebih dahulu menyediakan infrastruktur penggunaan gas. Selama ini, Widjajono menilai gas tidak bisa digunakan sebagai bahan bakar di dalam negeri karena ketiadaan infrastruktur. Padahal, harga gas jauh lebih murah ketimbang harga minyak sebagai bahan bakar. (ML/X-10)

Pemerintah Disarankan Hentikan Impor BBM

Investor Daily
Pemerintah Disarankan Hentikan Impor BBM
Rabu, 11 Mei 2011 | 15:19
Head Department of Economic Centre For Strategic and International Studies (CSIS) Raymond Atje (tengah) berbincang bersama peneliti dari CSIS Pratiwi Kartika (kiri) dan Deni Friawan, usai seminar tentang “Penghapusan Subsidi BBM sebagai Rasional Penyelamatan Ekonomi Indonesia” di Jakarta, Selasa (10/5).  Foto: Investor Daily/ant Head Department of Economic Centre For Strategic and International Studies (CSIS) Raymond Atje (tengah) berbincang bersama peneliti dari CSIS Pratiwi Kartika (kiri) dan Deni Friawan, usai seminar tentang “Penghapusan Subsidi BBM sebagai Rasional Penyelamatan Ekonomi Indonesia” di Jakarta, Selasa (10/5). Foto: Investor Daily/ant

JAKARTA – Pemerintah disarankan mengganti impor bahan bakar minyak (BBM) dengan impor gas. Pasalnya, biaya impor gas lebih kecil daripada BBM. Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Widjajono Partowidagdo mengatakan, pemerintah akan kewalahan jika terus mengimpor BBM. Alasannya, harga minyak dunia terus mengalami kenaikan. Karena itu, dia menyarankan pemerintah beralih mengimpor gas.

“Impor BBM itu mahal sekali. Apalagi selama ini kita harus mengimpor hingga ratusan barel per hari. Daripada impor BBM yang mahal, lebih baik impor gas,” kata dia usai menjadi pembicara dalam diskusi Future Energy Challenge di Universitas Trisakti, Selasa (10/5).

Selama ini Indonesia mengimpor BBM sekitar 400 ribu hingga 600 ribu bph untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pasalnya, produksi minyak nasional saat ini masih berkisar 916 ribu bph. Sementara itu, kebutuhan domestik mencapai 1,3 juta kiloliter (KL).

Selain terbebani biaya impor BBM, pemerintah juga masih menanggung biaya subsidi BBM sebesar Rp 95,9 triliun. Padahal, harga minyak dunia semakin tinggi. Apalagi, harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) sudah mencapai US$ 123,36 per barel. Berdasarkan perhitungan, setiap kenaikan ICP US$ 1 per barel akan mengakibatkan defisit APBN sebesar Rp 700 miliar.

Karena itu, dia menyarankan agar dana untuk subsidi BBM dialihkan untuk membangun infrastruktur bahan bakar gas. Sehingga masyarakat bisa menikmati bahan bakar yang lebih murah dan pemerintah tidak terbebani dengan subsidi.

“Masyarakat harus mulai dibiasakan dengan gas, sambil nanti subsidi BBM perlahan dicabut,” kata dia.

Saat ini, harga BBG hanya sekitar Rp 3.100 per liter setara premium (lsp). Sementara BBM subsidi senilai Rp 4.500 per liter dengan harga keekonomian Rp 9.000 per liter. Artinya, memakai gas jauh lebih hemat jika harus menggunakan BBM.

Sementara untuk sektor listrik, biaya produksi listrik dari pembangkit berbahan bakar gas hanya sekitar US$ 10 sen per kilowatt hour (kWh). Untuk pembangkit berbahan bakar BBM menghabiskan biaya setidaknya US$ 35 sen per kWh. “Jadi, lebih hemat 66% kalau memakai gas,” kata dia.

Namun demikian, dia mengakui pengembangan bahan baker gas sulit dilakukan karena terkendala pembangunan LNG terminal yang tidak kunjung rampung. Menurut Widjajono, pembangunan tersebut bisa selesai dalam waktu cepat jika pemerintah mempunyai niat.

“Kita masih tergantung minyak karena permasalahan politik. Ketidakberhasilan ini karena dua hal, pertama politisinya tidak paham, atau mereka memiliki kepentingan sendiri dalam hal ini,” kata dia. (c05)