Selasa, 23 Agustus 2011

Pemerintah Disarankan Hentikan Impor BBM

Investor Daily
Pemerintah Disarankan Hentikan Impor BBM
Rabu, 11 Mei 2011 | 15:19
Head Department of Economic Centre For Strategic and International Studies (CSIS) Raymond Atje (tengah) berbincang bersama peneliti dari CSIS Pratiwi Kartika (kiri) dan Deni Friawan, usai seminar tentang “Penghapusan Subsidi BBM sebagai Rasional Penyelamatan Ekonomi Indonesia” di Jakarta, Selasa (10/5).  Foto: Investor Daily/ant Head Department of Economic Centre For Strategic and International Studies (CSIS) Raymond Atje (tengah) berbincang bersama peneliti dari CSIS Pratiwi Kartika (kiri) dan Deni Friawan, usai seminar tentang “Penghapusan Subsidi BBM sebagai Rasional Penyelamatan Ekonomi Indonesia” di Jakarta, Selasa (10/5). Foto: Investor Daily/ant

JAKARTA – Pemerintah disarankan mengganti impor bahan bakar minyak (BBM) dengan impor gas. Pasalnya, biaya impor gas lebih kecil daripada BBM. Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Widjajono Partowidagdo mengatakan, pemerintah akan kewalahan jika terus mengimpor BBM. Alasannya, harga minyak dunia terus mengalami kenaikan. Karena itu, dia menyarankan pemerintah beralih mengimpor gas.

“Impor BBM itu mahal sekali. Apalagi selama ini kita harus mengimpor hingga ratusan barel per hari. Daripada impor BBM yang mahal, lebih baik impor gas,” kata dia usai menjadi pembicara dalam diskusi Future Energy Challenge di Universitas Trisakti, Selasa (10/5).

Selama ini Indonesia mengimpor BBM sekitar 400 ribu hingga 600 ribu bph untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pasalnya, produksi minyak nasional saat ini masih berkisar 916 ribu bph. Sementara itu, kebutuhan domestik mencapai 1,3 juta kiloliter (KL).

Selain terbebani biaya impor BBM, pemerintah juga masih menanggung biaya subsidi BBM sebesar Rp 95,9 triliun. Padahal, harga minyak dunia semakin tinggi. Apalagi, harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) sudah mencapai US$ 123,36 per barel. Berdasarkan perhitungan, setiap kenaikan ICP US$ 1 per barel akan mengakibatkan defisit APBN sebesar Rp 700 miliar.

Karena itu, dia menyarankan agar dana untuk subsidi BBM dialihkan untuk membangun infrastruktur bahan bakar gas. Sehingga masyarakat bisa menikmati bahan bakar yang lebih murah dan pemerintah tidak terbebani dengan subsidi.

“Masyarakat harus mulai dibiasakan dengan gas, sambil nanti subsidi BBM perlahan dicabut,” kata dia.

Saat ini, harga BBG hanya sekitar Rp 3.100 per liter setara premium (lsp). Sementara BBM subsidi senilai Rp 4.500 per liter dengan harga keekonomian Rp 9.000 per liter. Artinya, memakai gas jauh lebih hemat jika harus menggunakan BBM.

Sementara untuk sektor listrik, biaya produksi listrik dari pembangkit berbahan bakar gas hanya sekitar US$ 10 sen per kilowatt hour (kWh). Untuk pembangkit berbahan bakar BBM menghabiskan biaya setidaknya US$ 35 sen per kWh. “Jadi, lebih hemat 66% kalau memakai gas,” kata dia.

Namun demikian, dia mengakui pengembangan bahan baker gas sulit dilakukan karena terkendala pembangunan LNG terminal yang tidak kunjung rampung. Menurut Widjajono, pembangunan tersebut bisa selesai dalam waktu cepat jika pemerintah mempunyai niat.

“Kita masih tergantung minyak karena permasalahan politik. Ketidakberhasilan ini karena dua hal, pertama politisinya tidak paham, atau mereka memiliki kepentingan sendiri dalam hal ini,” kata dia. (c05)