Selasa, 23 Agustus 2011

Saatnya Beralih ke BBG 

lnvestor Oaily/Oavid Gita Row
Oleh Alex Dungkal dan Abdul Aziz
JAKARTA - Pemerintah harus menjamin dana hasil penghematan subsidi bahan bakar minyak (BBM) digunakan untuk membiayai program konversi energi dari BBM ke bahan bakar gas (BBG). Selain murah dan bersih, penggunaan BBG akan memperkokoh ketahanan energi nasional, mengingat pasokan gas bisa dipenuhi seluruhnya dari produksi dalam negeri.
Dengan demikian, program pembatasan BBM bersubsidi tidak terbatas pada program jangka pendek berupa penghematan BBM semata, tapi lebih berorientasi pada jangka panjang, yakni memanfaatkan energi yang murah, ramah lingkungan, dan terjamin kesinambungannya. Pemerintah juga bisa menggunakan dana-dana menganggur APBN (undisbursed budget) untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur BBG, baik untuk sektor transportasi, rumah tangga, maupun industri.
Demikian rangkuman wawancara Investor Dailydengan anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Agustiawan, guru besar Perminyakan dan Gas Institut Teknologi Bandung (ITB) Widjajono Partowidagdo, Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Aziz, pengamat ekonomi Econit Hendri Saparini, Pit Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro, dan Ahmad Safrudin dari Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB). Mereka dihubungi secara terpisah di Jakarta, Selasa (8/3).
Harga BBG jauh lebih murah ketimbang BBM. Berdasarkan catatan Dewan Energi Nasional (DEN), harga BBG untuk transportasi tanpa subsidi hanya Rp 3.500-3.600 per liter setara premium (LSP), sedangkan harga premium tanpa subsidi mencapai Rp 6.000 per liter. BBG juga sangat ekonomis untuk bahan bakar pembangkit listrik. Pembangkit listrik yang menggunakan solar biayanya mencapai 25 sen dolar per kWh, padahal jika menggunakan gas hanya 8 sen dolar AS.
Dalam APBN 2011, total subsidi energi mencapai Rp 136,6 triliun, terdiri atas subsidi BBM dan bahan bakar nabati (BBN) sebesar Rp 78,35 triliun, subsidi elpiji Rp 17,6 triliun, dan subsidi listrik Rp 40,7 triliun.
Data Institute for Transportation and Development Policy
(TTDP) menyebutkan, pemakaian BBG hanya butuh subsidi maksimum Rp 100 miliar per tahun untuk sektor transportasi umum di DKI Jakarta, atau hanya 0,17% dari besaran subsidi premium untuk kendaraan-pribadi di Jakarta yang mencapai Rp 42 triliun.
Di sisi lain, produksi gas juga melimpah. Produksi gas Pertamina saat ini mencapai 1.450 juta kaki kubik per hari (mmscfd), sedangkan sektor transportasi hanya membutuhkan BBG 20-30 mmscfd.
Pemerintah sedang menggodok tiga opsi untuk menyiasati gejolak harga minyak mentah dunia. Pertama, menaikkan harga premium Rp 500 per liter. Dalam opsi ini, kendaraan angkutan umum akan mendapatkan dana pengembalian (cash back) setara dengan kenaikan harga. Opsi ini akan menghasilkan penghematan sekitar Rp 20 triliun. Kedua, mengurangi penggunaan konsumsi premium dengan mewajibkan kendaraan pribadi beralih ke pertamax. Opsi ini akan menghasilkan penghematan Rp 5 triliun jika hanya diberlakukan di Jabodetabek. Ketiga, melakukan penjatahan konsumsi premium dengan menggunakan sistem kendali. Penjatahan ini tidak hanya berlaku untuk angkutan umum, tapi juga mobil pribadi.
Dana Menganggur
Menurut Harry Azhar Aziz, pemerintah bisa menggunakan dana nganggur untuk membiayai berbagai proyek pembangunan infrastruktur, termasuk infrastruktur gas. "Berarti, untuk mendukung program diversifikasi energi, pemerintah sebetulnya tak perlu mencari sumber pendanaan di luar APBN," katanya.
Harry mengungkapkan, Komisi XI DPR akan melacak dana-dana ngangguryang selama ini mengendap di Bank Indonesia (BI). "Saya dapat informasi dari sumber saya bahwa ada rekening pemerintah di BI yangnganggur, nilainya sekitar Rp 250 triliun," tuturnya.
Dia menambahkan, pemanfaatan dana-dana menganggur tak hanya mempercepat realisasi pembangunan proyek-proyek infrastruktur, tapi juga turut mendorong perekonomian nasional. "Multiplier effect proyek-proyek infrastruktur itu kan sangat besar, khususnya dalam menyerap tenaga kerja dan mengurangi angka kemiskinan," ucapnya.
Harry mengaku belum tahu persis status rekening senilai Rp 250 triliun milik pemerintah di BI itu. "Saya mendapat informasi tersebut dari sumber saya. Itu yang akan kami lacak. Kami akan meminta menteri keuangan mengklarifikasi, itu dana apa, statusnya bagaimana, dan bisa digunakan atau tidak," ujarnya.
Hendri Saparini mengungkapkan, dalam kondisi bujet yang serbaterbatas seperti sekarang, pemanfaatan dana-dana menganggur untuk program prioritas, seperti BBG, sangat mendesak dilakukan. "Dulu ada yang namanya rekening 609 untuk menampung dana-dana pemerintah di BI. Sekarang mungkin namanya sudah ganti lagi," ucap dia.
Pemerintah, kata Hendri, selama ini terkesan tidak transparan mengenai status dan penggunaan dana-dana tersebut "Seharusnya itu diungkapkan kepada publik dan bagaimana pemanfataannya," tegasnya.
Menurut Pit Kepala BKF Bam-bang Brodjonegoro, pemerintah berencana menggunakan sebagian dana sisa anggaran lebih (SAL) untuk menomboki kebutuhan subsidi BBM yang kemungkinan membengkak.
"Selain untuk menutup subsidi BBM, SAL yang berjumlah sekitar Rp 96,8 triliun akan digunakan untuk keperluan dana awal pelaksanaan APBN dan melunasi kurang bayar subsidi listrik pada 2009," kata Bambang.
Program Go Gas
Anggota DEN Herman Agus-tiawan menegaskan, pemerintah harus memprioritaskan pasokan gas untuk sektor transportasi umum. "Pengalihan dari BBM ke BBG merupakan keharusan. Pengadaan infrastrukturnya pun tidak sulit SPBG milik Pertamina saja sudah cukup. Apalagi ada pula swasta yang terjun ke bisnis SPBG," katanya.
Di sisi lain, menurut dia, pemerintah perlu membenahi dan menambah terminal gas alam cair (liquefied naturalgas/LNG) dan mother station. "Untuk menyiasati lamanya perbaikan atau pembangunan infrastruktur, pemerintah bisa menggunakan mobile station, yaitu mobil tangki gas yang berfungsi sebagai SPBG. Menggunakan mobile station tidak membutuhkan infrastruktur seperti pipa transmisi dan distribusi," ujarnya.
Herman menjelaskan, DEN dan pemerintah sepakat merevitalisasi penggunaan BBG untuk sektor transportasi. Kesepakatan itu diimplementasikan lewat pencanangan Program Go Gas pada 23 April mendatang.
"Program pencanangan tersebut akan diikuti peresmian revitalisasi 20 SPBG di Palembang, Jakarta, Bogor, Surabaya, dan Denpasar," tutur Herman yang ditunjuk menjadi ketua Program Go Gas.
Menurut Herman, untuk tahun pertama diharapkan 20% kendaraan di Jakarta beralih ke BBG. Satu unit kendaraan yang menggunakan 40 liter BBM membutuhkan gas maksimal 15 juta kaki kubik per hari {million standard cubic feet per t/ay/mmscfd).
Untuk mendorong penggunaan BBG, kata Herman, pemerintah juga perlu memberikan insentif untuk converter kit Thailand sudah melaksanakan ini dan ternyata berhasil," ujarnya.
Dia menambahkan, satu kendaraan yang menggunakan 10 liter
BBM bisa berhemat sekitar Rp 15.000 bila beralih ke BBG. "Pengalihan BBM ke BBG menguntungkan pemerintah dan masyarakat. Pendapatan sopir angkutan umum naik. Pemerintah bisa menghemat anggaran," tuturnya.
Ahmad Safrudin dari KPBB mengungkapkan, kebutuhan gas untuk transportasi umum secara nasional berkisar 2 juta kiloliter setara premium (klsp). "Bila 25% pengguna BBM beralih ke BBG, volumenya meningkat menjadi 5 juta klsp," tandasnya.
Ahmad menambahkan, penggunaan mobile station sangat efektif untuk menyiasati masalah infrastruktur. "Untuk membangun infrastruktur gas dibutuhkan setidaknya total dana Rp 80 triliun. Itu lebih kecil ketimbang jumlah subsidi BBM," tegasnya.
Guru Besar Perminyakan dan Gas dari ITB Widjajono Partowidagdo mengatakan, Indonesia terlalu fokus bicara minyak yang harganya mahal dan lupa soal energi alternatif, seperti gas bumi, yang justru jauh lebih murah dan ketersediaannya begitu berlimpah di negeri kita.
"Kita pasti takkan berbicara ha-bis-habisan soal subsidi BBM kalau kita beralih ke BBG. Anggaran negara pun takkan tergerus terus untuk subsidi BBM kalau kita kembangkan energi alternatif yang jauh lebih murah," katanya.
Dalam banyak hal, menurut dia, gas jauh lebih murah. "Dari sisi produksi, setiap produksi US$ 1 MSCFgas setara dengan USS 6 per barel minyak. Itu artinya, biaya gas jauh lebih murah dari minyak," tandasnya.
Program BBG untuk transportasi umum di Jakarta sudah berulang kali digulirkan sejak 2002, tapi jalan di tempat. Sedangkan program BBG untuk rumah tangga (konversi minyak tanah ke elpiji) sudah berjalan, meski sempat memicu kontroversi akibat banyaknya insiden ledakan tabung.
Program BBG tak berjalan akibat keterbatasan jumlah SPBG, adanya dua harga jual di SPBG di Jakarta, yakni Rp 2.562 dan Rp 3.600 per LSP, serta kualitas BBG yang buruk.
Raker Ditunda
Sementara itu, Komisi VII DPR, kemarin, memutuskan untuk menunda rapat soal rencana pembatasan konsumsi BBM bersubsididengan pemerintah. Rapat ditunda karena Komisi VII DPR ingin mendalami terlebih dahulu hasil kajian tambahan dari Tim Kajian Dampak Pembatasan BBM yang dipimpin Anggito Abimanyu.
"Komisi VII ingin supaya hasil kajian tambahan disampaikan sepenuhnya oleh pemerintah dan harus dikemas dengan fokus dari pemerintah," ujar Ketua Komisi VH DPR Teuku Riefky Harsya. Rapat kerja itu dihadiri Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh, Dirjen Migas Evita H Legowo, dan Anggito Abimanyu.
Menurut Teuku, dalam kaitan dengan pembatasan BBM, banyak aspek yang perlu dilihat, baik itu dari sosial, porak, geopolitik, keuangan negara, maupun APBN. "Soal sikap dari Komisi VII, itu sangat tergantung pemaparan pemerintah nanti," tutur Teuku Riefky.
Dia menambahkan, sejauh ini Komisi VII DPR dan pemerintah masih berpegang pada kesepakatan 13 Desember 2010 bahwa pengalokasian BBM bersubsidi harus ditata ulang agar tepat sasaran.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Effendy Simbolon menolak memberikan waktu kepada Anggito untuk menyampaikan hasil kajiannya. "Raker ini kan dengan pemerintah, bukan tim pengkaji," katanya.
Penolakan juga dilontarkan Dito Ganindito, anggota Komisi VTI dari Fraksi Golkar. "Pemerintah yang seharusnya menyampaikan hasil kajian, bukan tim independen," ujarnya.
Pemerintah Siap
Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh menegaskan, secara teknis pemerintah telah siap melaksanakan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi pada 1 April 2011 sesuai jadwal. "Pemerintah telah siap secara teknis. Pemerintah telah siap siap untuk pelaksanaan pengaturan BBM bersubsidi," tandasnya.
Darwin mengatakan, guna menyiapkan pengaturan pembatasan BBM bersubsidi, pemerintah telah membentuk lima kelompok kerja (Pokja), yaitu Pokja Operasional dengan penanggung jawab Pertamina, Pokja Pengawasan dengan penanggung jawab BPH Migas, Pokja Sosialisasi dengan penanggung jawab Kementerian ESDM, dan Pokja Sosial Ekonomi dengan penanggung jawab Bappenas.
Selain itu, pemerintah telah me-ngintensifikasikan monitoring dan evaluasi perkembangan harga minyak. Soalnya, pelaksanaan program tersebut dipengaruhi perkembangan harga minyak dunia. (did/rad/cO5)