Rabu, 24 Agustus 2011

Disusun, Rencana BBG untuk Transportasi

Disusun, Rencana BBG untuk Transportasi
Maria Natalia | Heru Margianto | Senin, 17 Januari 2011 | 14:26 WIB

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO Pengemudi bajaj berbahan bakar gas menunggu giliran mengisi bahan bakar di SPBG Jalan Pemuda, Jakarta Timur.
JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) menyusun rencana aksi penyediaan bahan bakar gas (BBG) untuk transportasi di Indonesia. BBG adalah bahan bakar ramah lingkungan.
"Perlu koordinasi dari semua pihak terkait untuk mendukung peralihan penggunaan bahan bakar kendaraan dari bahan bakar minyak (BBM) ke BBG untuk transportasi," jelas Direktur Transportasi Bappenas, Bambang Prihartono, di Jakarta, Senin (17/01/2011).
Rencana aksi ini melibatkan pihak-pihak terkait seperti Departemen Perhubungan, Departemen Lingkungan Hidup, Pertamina, Perusahaan Gas Negara (PGN), Departemen Keuangan, serta organisasi-organisasi yang bergerak di bidang transportasi dan bahan bakar.
Ia menuturkan, terdapat sejumlah persoalan dalam pemanfaatan BBG. Misalnya, meningkatnya permintaan belum diimbangi dengan ketersediaan BBG. Jalur pipa gas di sejumlah kota di Indonesia masih sangat terbatas.
Persoalan lain adalah menyangkut harga. Anggota Dewan Energi Nasional, Widjajono Partowidagdo, mengungkapkan, harga BBG lebih murah dibanding BBM yang disubsidi pemerintah.
"Harga BBG Rp 3.100 per liter, lebih murah dari premium yang Rp 4.500 per liter. Harganya tidak kompetitif. Bagaimana swasta mau ikut ambil bagian dari bisnis ini kalau dirasa tidak menguntungkan. Kalau mau percepatan pemanfaatan gas harus juga dipikirkan harga yang bagus," kata dia.
Untuk memperluas distribusi gas, pemerintah rencananya akan membangun jalur pipa gas di beberapa kota yang dekat dengan produksi gas bumi. Selain itu, direncanakan pula penambahan jumlah SPBG di perkotaan dan pengembangan angkutan umum berbahan bakar gas.
Terkait rencana ini, pemerintah belum menetapkan taget waktu. Sekretaris Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Edi Purnomo mengatakan, yang paling penting saat ini adalah memperbaiki infrastruktur.
"Kalau sudah ada infrastrukturnya, pasti akan berjalan cepat. Belum ditargetkan waktunya kapan untuk beberapa kota, Jakarta sudah mulai 2011 ini, yang lain menyusul," ujar dia.
 

Selasa, 23 Agustus 2011

Pertamina Dukung Kendaraan Umum Tinggalkan Premium
Jumat, 26 November 2010 | 16:19
[JAKARTA] PT Pertamina (Persero) mendukung usulan agar kendaraan umum untuk menggunakan bahan bakar gas atau listrik ketimbang premium. Bahkan, perusahaan minyak negara ini menyatakan kesiapannya untuk mengakomodasi kebutuhan itu.

Demikian dikatakan VP Corporate Communication Pertamina Muhamad Harun dalam dialog terbatas harian Investor Daily dengan topik Carut Marut Ketersediaan BBG untuk Transportasi Umum di Jakarta, Siapa yang Salah?, di Jakarta, Jumat (26/11).

Namun, kesiapan Pertamina itu harus ditunjang dengan adanya permintaan gas dari masyarakat. "Kalau supply-nya diobrak-abrik tapi demand-nya tidak ada maka SPBG (statiun pengisi bahan bakar gas) kita akan mati suri," ungkapnya.

Harun menambahkan, pada tahun 1982 Pertamina memiliki 22 SPBG namun harus tutup satu per satu akibat minimnya permintaan. Untuk itu, imbaunya, harus ada pembenahan di sektor infrastruktur dan juga insentif yang salah satunya berupa pajak.

"Perlu ada kebijakan yang konsisten dalam mengimplementasikan BBG (bahan bakar gas). Pemerintah memang sudah jelas arahannya tapi tinggal kita tunggu dituangkan ke kebijakan," tandasnya.

Kendati demikian, saat ini pihaknya akan komit untuk merevitalisasi delapan SPBG untuk memenuhi permintaan yang akan datang. Adapun, Pertamina menyatakan sudah ada alokasi khusus gas untuk PLN dan PGN yang akan beroperasi 2011.

Sementara itu, dari sisi penghematan, pengalihan Premium ke BBG menurut pengamat minyak dan gas ITB Widjajono Partowidagdo bisa mendorong subsidi BBM yang nilainya puluhan triliun dalihkan ke pembangunan infrastruktur.

Untuk itu, perlu diselesaikan segera soal pasokan, infrastruktur, permasalahan harga gas di kota-kota besar di Indonesia. Bahkan, perlu diwajibkan kendaraan umum memakai gas atau listrik dan diproduksi besar-besaran sepeda motor listrik. Kemudian, Premium ditiadakan sehingga kalau mau memakai mobil pribadi harus memakai Pertamax yang notabene tidak disubsidi. [O-2]

Pemenuhan Energi Negeri Kaum Mullah Dari Minyak Bumi Hingga Nuklir

Listrik Indonesia.com
Author : Administrator
Pemenuhan Energi Negeri Kaum Mullah  Dari Minyak Bumi Hingga Nuklir
Amerika Serikat dan Eropa mengecam Iran terkait program nuklir. Namun Iran terus mengembangkan nuklir terutama untuk kebutuhan listrik dalam negerinya.
Pengembangan sektor energi dan kelistrikan Iran, dari waktu ke waktu terus berkembang pe­sat. Sebelumnya, secara konvesional Iran hanya mengandalkan minyak bumi dan gas sebagai ba­han baku pembangkit listrik. Kini Iran telah mengembangkan pembangkit nuklir sebagai sumber energi listrik.
Kelistrikan Iran terus mengalami pengembangan dan peningkatan sejak 25 tahun lalu. Pengelolaan listik dan sumber bahan baku energi minyak dikelola secara bijak. Dari hanya berproduksi sebesar 7.000 megawatt, sekarang Iran telah mampu menghasilkan listrik berkekuatan 49.000 megawatt (MW).
Bahkan, 20 tahun ke depan diprediksi Iran sanggup menghasilkan 110.000 MW. Tak hanya minyak bumi, Iran juga berupaya mengembangkan pembangkit listrik mikrohidro yang sekarang produksinya mencapai 10 MW sampai 50 MW. Biaya investasi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) relatif lebih murah dibandingkan dengan teknologi pembangkit listrik sejenis dari negara lain.
Negeri Kaum Mullah itu memiliki kemandirian energi yang kokoh. Pasalnya minyak bumi dan gas menjadi bahan baku utama pembangkit listrik. Terlebih di kawasan Timur Tegah, Iran termasuk negara yang memiliki cadangan minyak bumi terbesar di dunia.
Pada 2010, cadangan minyak Iran diposisikan nomor empat terbesar di dunia setelah Saudi Arabia, Venezuela, dan Irak.Sebelumnya, sampai tahun 2009, Iran masih dianggap sebagai negara yang memiliki cadangan minyak terbesar ketiga di dunia, di bawah Kerajaan Saudi Arabia dan Venezuela.
Tetapi belakangan, setelah Irak mengumumkan posisi cadangan minyak mereka yang baru pada awal Oktober 2010 yang sebesar 143,1 miliar barel, posisi tersebut kini diduduki Irak.
Berdasarkan data dari organisasi produsen msinyak dunia atau OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries), Iran tercatat memiliki cadangan minyak sebesar 137,01 miliar barel. Angka tersebut mewakili 12,9% cadangan minyak dunia. Jauh sebelumnya lagi, Iran bahkan pernah ditempatkan oleh Oil and Gas Journal berada di posisi kedua di bawah Saudi Arabia pada 2006.
Ditilik dari sisi produksi, kontribusi Iran bagi dunia internasional, juga sangat besar. Pada 2005, produksi minyak mentah Iran tercatat 3,94 juta barrel per hari bpd (barrel per day) atau mewakili 5% produksi minyak mentah dunia.
Sepanjang 2005 hingga 2008, kapasitas produksi minyak mentah di Iran meningkat menjadi di atas 4,301 juta bpd. Pada 2009, kinerja produksi minyak mentah Iran diperkirakan sebesar 4,049 juta bpd.
Selain dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk energi listrik, minyak bumi Iran seperti juga di negara-negara lain dimanfaatkan untuk konsumsi kendaraan bermotor. Menurut pengamat energi, Widjajono Partowidagdo, pemerintah Iran sangat berkepentingan untuk menjaga cadangan minyak mereka.
Bahkan pemerintah Iran menjual harga bahan bakar minyak (BBM) kepada warganya sesuai dengan harga keekonomian. Jadi, harga BBM-nya cukup mahal. “Itu sebabnya, warga Iran tidak bisa semaunya mengkonsumsi BBM karena harganya terbilang mahal,” terang Widjajono.
Tak hanya untuk kebutuhan dalam negeri, Iran juga sangat aktif menggenjot ekspor minyak bumi ke berbagai negara. Iran merupakan salah satu negara pengekspor minyak mentah utama dunia.
Bahkan, pada 2009 lalu, ekspor minyak mentah Iran ke negara-negara Eropa mengalami peningkatan dua kali lipat dari tahun 2008. Sekarang, rata-rata ekspor minyak mentah Iran setiap harinya mencapai 2 juta barrel.
Lalu, di mana lokasi strategis minyak bumi dan gas di negara Ayatulloh Khomeini tersebut?
Berdasarkan data-data intelejen energi internasional, wilayah strategis sumber energi Iran terbagi dua. Ada wilayah yang kaya akan minyak bumi, dan ada wilayah yang kaya dengan cadangan gas.
Untuk minyak bumi, wilayah sumber energi Iran terletak bagian barat atau oleh kalangan intelijen energi dunia disebut sebagai wilayah Khuzestan. Meskipun, di wilayah tersebut juga ada cadangan gas.
Sementara itu, wilayah strategis cadangan gas alam Iran berada pada tiga tempat. Daerah Pars Selatan dengan cadangan gas sebesar 280-500 Tcf dan 17 miliar barrel kandungan minyak. Daerah Pars Utara sebesa 50 Tcf, dan di wilayah Kangan-Nar dengan posisi cadangan gas sebesar 23.7 Tcf.
Pars Selatan merupakan daerah yang dijadikan proyek prestisius pengembangan gas di Iran. Kilang gas di Pars Selatan, merupakan proyek energi gas terbesar bagi negara tersebut. Nilai investasi proyek tersebut diperkirakan mencapai 15 miliar dolar Amerika (AS). Pengembangan proyek gas Pars Selatan tersebut diyakini berkontribusi sebesar US$11 miliar untuk jangka waktu 30 tahun.
Beberapa perusahaan energi multinasional dari berbagai negara, terlibat dalam pengembangan proyek tersebut. Di antaranya, perusahaan asal Rusia-Gazprom, dari Petronas- Malaysia, ENI, LG- Korea Selatan dan Norwegia, Statoil.
Saat ini, kendati perusahaan-perusahaan minyak dari negara-negara Barat banyak yang hengkang dari Iran, namun beberapa negara masih banyak yang tertarik masuk ke Iran. Salah satunya adalah China. Diperkirakan, nilai investasi perusahaan-perusahaan asal China di bidang minyak dan gas ke Iran, telah mencapai US$ 40 miliar.
Bahkan, Iran melalui The Iranian Central Oilfields Company (ICOFC), berencana akan meningkatkan produksi gasnya menjadi 325 juta meter kubik gas per hari. Iran saat ini memiliki cadangan gas sebesar 29 triliun meter kubik atau sekitar 17% dari cadangan gas dunia.
Kebijakan Nuklir Damai
Selain minyak bumi dan gas, Iran juga gencar mengembangkan energi alternatif. Salah satunya, yang juga menjadi salah satu andalan adalah pengembangan energi nuklir. Kendati mendapat tudingan miring, Iran tetap kukuh mengembangkan nuklir sebagai sumber energi listrik di negara tersebut.
Tambang Saghand yang berlokasi di Iran Tengah, tepatnya sekitar 300 mil di Selatan Teheran, merupakan sumber utama uranium Iran. Kapasitas produksinya mencapai 132.000 ton bijih uranium per tahun. Secara total, cadangan uranium di tambang tersebut diperkirakan mencapai 1,73 juta ton.
Selain itu, Iran juga punya cadangan uranium lain di selatan Bandar Abbas, namun kapasitasnya lebih kecil. Tahun 2006, pemerintah Iran juga mengumumkan penemuan lokasi cadangan uranium baru di Khoshoomi, Charchooleh, dan Narigan.
Menurut Presiden Iran Mahmoed Ahmadinejad, pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) bukan sekadar tumpuan masa depan pemenuhan kebutuhan energinya. PLTN juga simbol penguasaan teknologi canggih.
“Memperoleh teknologi nuklir untuk tujuan damai adalah tuntutan seluruh rakyat Iran. Dan pejabat sebagai wakil rakyat, harus berupaya sekuat tenaga untuk merealisasikan tuntutan tersebut,” tegas Ahmadinejad menjelaskan mengenai program nuklir Iran.
Ahmadinejad dikenal sosok yang tegas dan kharismatik. Kendati sederhana, namun dia sangat berani.
Termasuk jika kebijakan yang diambilnya harus bersinggungan dengan negara adidaya Amerika Serikat (AS). Meskipun Iran dikenai sangsi Internasional, terkait dengan program pengayaan nuklir, namun Iran bergeming menjalankan program nuklir mereka.
Setelah cukup lama berupaya, akhirnya Iran akan meng­operasikan PLTN pertama di negara tersebut. Lokasi PLTN tersebut berada di dekat kota pelabuhan teluk, Bushehr. Langkah pengembangan nuklir damai Iran, memang merupakan antisipasi terhadap potensi habisnya bahan baku minyak bumi Iran.
Apalagi, konsumsi listrik masyarakat Iran cukup besar, yakni sekitar 145,1 miliar kWh. Belum lagi kalau dipertimbangkan dengan jumlah penduduk Iran yang akan terus bertambah dan menjadi sebanyak 100 juta orang pada 2025.
Alhasil, Iran harus mengejar pertumbuhan daya listrik hingga sebesar 70.000 MW pada 2021. Bertolak dari hal tersebut, akhirnya pemerintahan Iran berupaya mengembangkan PLTN untuk mengejar keamanan pasokan listrik domestik.
Iran menetapkan target penyediaan pasokan energi listrik mereka pada 2021, sebagian besar akan dihasilkan dari energi alternatif. Perincianya sebanyak 10 % akan berasal dari tenaga nuklir, 20% dari hidro (tenaga air), 60 % dari gas, dan sisanya dari sumber energi lain.Selain pengembangan listrik di dalam negeri, bersama dengan Rusia, dan China, Iran terus berupaya berinvestasi pada sektor pembangkit listrik.
Kesuksesan Iran mengembangkan program pembangkit listrik berbasis nuklir, pada akhirnya menginspirasi negara lain untuk melakukan hal yang sama. Salah satunya negara asal Afrika, yakni Sudan, bakal mengikuti jejak Iran.
Menurut Presiden Sudan Omar al-Bashir, negara mereka belajar dari Iran mengenai sumber energi nuklir untuk kebutuhan listrik. Sudan memang berencana membangun reaktor nuklir, sekaligus PLTN yang rencananya akan selesai pada 2020. Untuk mengantisipasi tudingan miring Internasional, Sudan akan bekerjasama dengan Lembaga Energi Atom Internasional.

Saatnya Beralih ke BBG 

lnvestor Oaily/Oavid Gita Row
Oleh Alex Dungkal dan Abdul Aziz
JAKARTA - Pemerintah harus menjamin dana hasil penghematan subsidi bahan bakar minyak (BBM) digunakan untuk membiayai program konversi energi dari BBM ke bahan bakar gas (BBG). Selain murah dan bersih, penggunaan BBG akan memperkokoh ketahanan energi nasional, mengingat pasokan gas bisa dipenuhi seluruhnya dari produksi dalam negeri.
Dengan demikian, program pembatasan BBM bersubsidi tidak terbatas pada program jangka pendek berupa penghematan BBM semata, tapi lebih berorientasi pada jangka panjang, yakni memanfaatkan energi yang murah, ramah lingkungan, dan terjamin kesinambungannya. Pemerintah juga bisa menggunakan dana-dana menganggur APBN (undisbursed budget) untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur BBG, baik untuk sektor transportasi, rumah tangga, maupun industri.
Demikian rangkuman wawancara Investor Dailydengan anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Agustiawan, guru besar Perminyakan dan Gas Institut Teknologi Bandung (ITB) Widjajono Partowidagdo, Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Aziz, pengamat ekonomi Econit Hendri Saparini, Pit Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro, dan Ahmad Safrudin dari Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB). Mereka dihubungi secara terpisah di Jakarta, Selasa (8/3).
Harga BBG jauh lebih murah ketimbang BBM. Berdasarkan catatan Dewan Energi Nasional (DEN), harga BBG untuk transportasi tanpa subsidi hanya Rp 3.500-3.600 per liter setara premium (LSP), sedangkan harga premium tanpa subsidi mencapai Rp 6.000 per liter. BBG juga sangat ekonomis untuk bahan bakar pembangkit listrik. Pembangkit listrik yang menggunakan solar biayanya mencapai 25 sen dolar per kWh, padahal jika menggunakan gas hanya 8 sen dolar AS.
Dalam APBN 2011, total subsidi energi mencapai Rp 136,6 triliun, terdiri atas subsidi BBM dan bahan bakar nabati (BBN) sebesar Rp 78,35 triliun, subsidi elpiji Rp 17,6 triliun, dan subsidi listrik Rp 40,7 triliun.
Data Institute for Transportation and Development Policy
(TTDP) menyebutkan, pemakaian BBG hanya butuh subsidi maksimum Rp 100 miliar per tahun untuk sektor transportasi umum di DKI Jakarta, atau hanya 0,17% dari besaran subsidi premium untuk kendaraan-pribadi di Jakarta yang mencapai Rp 42 triliun.
Di sisi lain, produksi gas juga melimpah. Produksi gas Pertamina saat ini mencapai 1.450 juta kaki kubik per hari (mmscfd), sedangkan sektor transportasi hanya membutuhkan BBG 20-30 mmscfd.
Pemerintah sedang menggodok tiga opsi untuk menyiasati gejolak harga minyak mentah dunia. Pertama, menaikkan harga premium Rp 500 per liter. Dalam opsi ini, kendaraan angkutan umum akan mendapatkan dana pengembalian (cash back) setara dengan kenaikan harga. Opsi ini akan menghasilkan penghematan sekitar Rp 20 triliun. Kedua, mengurangi penggunaan konsumsi premium dengan mewajibkan kendaraan pribadi beralih ke pertamax. Opsi ini akan menghasilkan penghematan Rp 5 triliun jika hanya diberlakukan di Jabodetabek. Ketiga, melakukan penjatahan konsumsi premium dengan menggunakan sistem kendali. Penjatahan ini tidak hanya berlaku untuk angkutan umum, tapi juga mobil pribadi.
Dana Menganggur
Menurut Harry Azhar Aziz, pemerintah bisa menggunakan dana nganggur untuk membiayai berbagai proyek pembangunan infrastruktur, termasuk infrastruktur gas. "Berarti, untuk mendukung program diversifikasi energi, pemerintah sebetulnya tak perlu mencari sumber pendanaan di luar APBN," katanya.
Harry mengungkapkan, Komisi XI DPR akan melacak dana-dana ngangguryang selama ini mengendap di Bank Indonesia (BI). "Saya dapat informasi dari sumber saya bahwa ada rekening pemerintah di BI yangnganggur, nilainya sekitar Rp 250 triliun," tuturnya.
Dia menambahkan, pemanfaatan dana-dana menganggur tak hanya mempercepat realisasi pembangunan proyek-proyek infrastruktur, tapi juga turut mendorong perekonomian nasional. "Multiplier effect proyek-proyek infrastruktur itu kan sangat besar, khususnya dalam menyerap tenaga kerja dan mengurangi angka kemiskinan," ucapnya.
Harry mengaku belum tahu persis status rekening senilai Rp 250 triliun milik pemerintah di BI itu. "Saya mendapat informasi tersebut dari sumber saya. Itu yang akan kami lacak. Kami akan meminta menteri keuangan mengklarifikasi, itu dana apa, statusnya bagaimana, dan bisa digunakan atau tidak," ujarnya.
Hendri Saparini mengungkapkan, dalam kondisi bujet yang serbaterbatas seperti sekarang, pemanfaatan dana-dana menganggur untuk program prioritas, seperti BBG, sangat mendesak dilakukan. "Dulu ada yang namanya rekening 609 untuk menampung dana-dana pemerintah di BI. Sekarang mungkin namanya sudah ganti lagi," ucap dia.
Pemerintah, kata Hendri, selama ini terkesan tidak transparan mengenai status dan penggunaan dana-dana tersebut "Seharusnya itu diungkapkan kepada publik dan bagaimana pemanfataannya," tegasnya.
Menurut Pit Kepala BKF Bam-bang Brodjonegoro, pemerintah berencana menggunakan sebagian dana sisa anggaran lebih (SAL) untuk menomboki kebutuhan subsidi BBM yang kemungkinan membengkak.
"Selain untuk menutup subsidi BBM, SAL yang berjumlah sekitar Rp 96,8 triliun akan digunakan untuk keperluan dana awal pelaksanaan APBN dan melunasi kurang bayar subsidi listrik pada 2009," kata Bambang.
Program Go Gas
Anggota DEN Herman Agus-tiawan menegaskan, pemerintah harus memprioritaskan pasokan gas untuk sektor transportasi umum. "Pengalihan dari BBM ke BBG merupakan keharusan. Pengadaan infrastrukturnya pun tidak sulit SPBG milik Pertamina saja sudah cukup. Apalagi ada pula swasta yang terjun ke bisnis SPBG," katanya.
Di sisi lain, menurut dia, pemerintah perlu membenahi dan menambah terminal gas alam cair (liquefied naturalgas/LNG) dan mother station. "Untuk menyiasati lamanya perbaikan atau pembangunan infrastruktur, pemerintah bisa menggunakan mobile station, yaitu mobil tangki gas yang berfungsi sebagai SPBG. Menggunakan mobile station tidak membutuhkan infrastruktur seperti pipa transmisi dan distribusi," ujarnya.
Herman menjelaskan, DEN dan pemerintah sepakat merevitalisasi penggunaan BBG untuk sektor transportasi. Kesepakatan itu diimplementasikan lewat pencanangan Program Go Gas pada 23 April mendatang.
"Program pencanangan tersebut akan diikuti peresmian revitalisasi 20 SPBG di Palembang, Jakarta, Bogor, Surabaya, dan Denpasar," tutur Herman yang ditunjuk menjadi ketua Program Go Gas.
Menurut Herman, untuk tahun pertama diharapkan 20% kendaraan di Jakarta beralih ke BBG. Satu unit kendaraan yang menggunakan 40 liter BBM membutuhkan gas maksimal 15 juta kaki kubik per hari {million standard cubic feet per t/ay/mmscfd).
Untuk mendorong penggunaan BBG, kata Herman, pemerintah juga perlu memberikan insentif untuk converter kit Thailand sudah melaksanakan ini dan ternyata berhasil," ujarnya.
Dia menambahkan, satu kendaraan yang menggunakan 10 liter
BBM bisa berhemat sekitar Rp 15.000 bila beralih ke BBG. "Pengalihan BBM ke BBG menguntungkan pemerintah dan masyarakat. Pendapatan sopir angkutan umum naik. Pemerintah bisa menghemat anggaran," tuturnya.
Ahmad Safrudin dari KPBB mengungkapkan, kebutuhan gas untuk transportasi umum secara nasional berkisar 2 juta kiloliter setara premium (klsp). "Bila 25% pengguna BBM beralih ke BBG, volumenya meningkat menjadi 5 juta klsp," tandasnya.
Ahmad menambahkan, penggunaan mobile station sangat efektif untuk menyiasati masalah infrastruktur. "Untuk membangun infrastruktur gas dibutuhkan setidaknya total dana Rp 80 triliun. Itu lebih kecil ketimbang jumlah subsidi BBM," tegasnya.
Guru Besar Perminyakan dan Gas dari ITB Widjajono Partowidagdo mengatakan, Indonesia terlalu fokus bicara minyak yang harganya mahal dan lupa soal energi alternatif, seperti gas bumi, yang justru jauh lebih murah dan ketersediaannya begitu berlimpah di negeri kita.
"Kita pasti takkan berbicara ha-bis-habisan soal subsidi BBM kalau kita beralih ke BBG. Anggaran negara pun takkan tergerus terus untuk subsidi BBM kalau kita kembangkan energi alternatif yang jauh lebih murah," katanya.
Dalam banyak hal, menurut dia, gas jauh lebih murah. "Dari sisi produksi, setiap produksi US$ 1 MSCFgas setara dengan USS 6 per barel minyak. Itu artinya, biaya gas jauh lebih murah dari minyak," tandasnya.
Program BBG untuk transportasi umum di Jakarta sudah berulang kali digulirkan sejak 2002, tapi jalan di tempat. Sedangkan program BBG untuk rumah tangga (konversi minyak tanah ke elpiji) sudah berjalan, meski sempat memicu kontroversi akibat banyaknya insiden ledakan tabung.
Program BBG tak berjalan akibat keterbatasan jumlah SPBG, adanya dua harga jual di SPBG di Jakarta, yakni Rp 2.562 dan Rp 3.600 per LSP, serta kualitas BBG yang buruk.
Raker Ditunda
Sementara itu, Komisi VII DPR, kemarin, memutuskan untuk menunda rapat soal rencana pembatasan konsumsi BBM bersubsididengan pemerintah. Rapat ditunda karena Komisi VII DPR ingin mendalami terlebih dahulu hasil kajian tambahan dari Tim Kajian Dampak Pembatasan BBM yang dipimpin Anggito Abimanyu.
"Komisi VII ingin supaya hasil kajian tambahan disampaikan sepenuhnya oleh pemerintah dan harus dikemas dengan fokus dari pemerintah," ujar Ketua Komisi VH DPR Teuku Riefky Harsya. Rapat kerja itu dihadiri Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh, Dirjen Migas Evita H Legowo, dan Anggito Abimanyu.
Menurut Teuku, dalam kaitan dengan pembatasan BBM, banyak aspek yang perlu dilihat, baik itu dari sosial, porak, geopolitik, keuangan negara, maupun APBN. "Soal sikap dari Komisi VII, itu sangat tergantung pemaparan pemerintah nanti," tutur Teuku Riefky.
Dia menambahkan, sejauh ini Komisi VII DPR dan pemerintah masih berpegang pada kesepakatan 13 Desember 2010 bahwa pengalokasian BBM bersubsidi harus ditata ulang agar tepat sasaran.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Effendy Simbolon menolak memberikan waktu kepada Anggito untuk menyampaikan hasil kajiannya. "Raker ini kan dengan pemerintah, bukan tim pengkaji," katanya.
Penolakan juga dilontarkan Dito Ganindito, anggota Komisi VTI dari Fraksi Golkar. "Pemerintah yang seharusnya menyampaikan hasil kajian, bukan tim independen," ujarnya.
Pemerintah Siap
Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh menegaskan, secara teknis pemerintah telah siap melaksanakan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi pada 1 April 2011 sesuai jadwal. "Pemerintah telah siap secara teknis. Pemerintah telah siap siap untuk pelaksanaan pengaturan BBM bersubsidi," tandasnya.
Darwin mengatakan, guna menyiapkan pengaturan pembatasan BBM bersubsidi, pemerintah telah membentuk lima kelompok kerja (Pokja), yaitu Pokja Operasional dengan penanggung jawab Pertamina, Pokja Pengawasan dengan penanggung jawab BPH Migas, Pokja Sosialisasi dengan penanggung jawab Kementerian ESDM, dan Pokja Sosial Ekonomi dengan penanggung jawab Bappenas.
Selain itu, pemerintah telah me-ngintensifikasikan monitoring dan evaluasi perkembangan harga minyak. Soalnya, pelaksanaan program tersebut dipengaruhi perkembangan harga minyak dunia. (did/rad/cO5)

Iklim Investasi Migas Indonesia Dinilai Kurang Menarik

Iklim Investasi Migas Indonesia Dinilai Kurang Menarik  

TEMPO/Seto Wardhana
TEMPO Interaktif, Jakarta - Salah satu faktor penyebab terus turunnya produksi minyak nasional dan kurang berkembangnya industri minyak dalam negeri disebabkan oleh iklim investasi di sektor perminyakan dan gas dalam negeri yang masih kurang menarik.

"Minyak kurang berkembang karena sistem fiskal dan iklim investasi kita kurang menarik," kata Widjajono Partowidagdo, anggota Dewan Energi Nasional sekaligus Guru Besar Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung , dalam Seminar Energi di Masa Depan Tantangan dan Pilihan Kebijakan, Selasa 10 Mei 2011.

Tidak menariknya iklim investasi migas di dalam negeri, di antaranya disebabkan oleh sistem fiskal yang tetap. Menurut sistem ini, nilai pembagian hasil antara kontraktor dan negara telah ditentukan terlebih dahulu. "Tidak seperti di Malaysia, kalau hasil produksinya kecil pemerintah dapat bagi hasilnya kecil. Kalau produksi besar dapatnya juga besar," kata dia.

Pola tersebut juga diterapkan oleh negara penghasil minyak di Asia lainnya, termasuk Papua Nugini. Oleh sebab itu, investor tertarik untuk menanamkan modalnya di negara tersebut. Perminyakan di negara itu pun dapat tertolong.

Belum lagi masalah birokrasi, seperti perizinan yang sulit, pembebasan lahan, persoalan tumpang tindih yang semakin membuat para investor agak berat menanamkan modalnya di Indonesia. Padahal, dengan keterbatasan teknologi saat ini peran investor masih dibutuhkan untuk meningkatkan produksi nasional.

"Kalaupun ada investor yang tertarik, mereka akan lebih berkonsentrasi di lapangan yang telah berproduksi," ujarnya.

Buruknya iklim investasi minyak dan gas Indonesia juga diakui oleh Lembaga Survei Independen Kanada. Berdasarkan data yang dimiliki mereka, kondisi investasi migas Indonesia berada di peringkat 111 dari 113 negara yang ada di dunia. Lebih buruk dari Kamboja,Thailand, bahkan negara-negara Afrika seperti Madagaskar dan Suriname.

Seperti diketahui, produksi minyak nasional kita saat ini hanya menyentuh angka rata-rata 916 ribu barel per hari, jauh di bawah target APBN 2011 yang ditetapkan sebesar 970 ribu barel per hari. Angka segitu tidak mampu menutupi kebutuhan konsumsi BBM yang dalam seharinya dapat mencapai hingga 1,3 juta barel.

Sementara, cadangan pasti minyak kita saat ini diperkirakan hanya sekitar 4,5 miliar barel dan akan habis dalam waktu 12 tahun mendatang apabila tidak terdapat kegiatan eksplorasi besar selama rentan waktu tersebut.

Harga Minyak Bisa Lambungkan Defisit Rp18,8 T

Harga Minyak Bisa Lambungkan Defisit Rp18,8 T 
Media Indonesia.com
Rabu, 11 Mei 2011 00:00 WIB     

DEFISIT anggaran negara bisa bertambah Rp18,8 triliun akibat membengkaknya subsidi BBM yang terpicu harga minyak dan tidak tercapainya target produksi (lifting) minyak.

Pemerintah diimbau segera mengambil keputusan untuk mengatasi kondisi tersebut. Umpamanya dengan menaikkan harga BBM subsidi atau mengonversi BBM ke bahan bakar gas (BBG).

Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan dan anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Widjajono Partowidagdo mengatakan itu, kemarin, di Jakarta.

Menurut Deni, dengan kondisi harga minyak di atas US$100 per barel dan lifting minyak yang hanya 892 ribu barel per hari (bph) selama kuartal I 2011, defisit anggaran bisa bertambah Rp18,8 triliun.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011 mematok harga minyak Indonesia US$80/barel dan lifting 970 ribu bph. Adapun subsidi BBM dipatok sebesar Rp95,9 triliun.

"Dengan membiarkan kondisi seperti sekarang ini, akan semakin besar anggaran subsidi yang dinikmati masyarakat kelas menengah ke atas melalui konsumsi BBM mereka," ungkapnya.

Berdasarkan penelitian CSIS, BBM subsidi hanya dinikmati 1% keluarga miskin.

Karena itu, Deni menilai saat ini merupakan momentum yang tepat untuk mulai mengurangi subsidi BBM. Hal tersebut mengingat kondisi ekonomi tengah membaik dengan pertumbuhan cukup tinggi dan banyak investasi masuk.

Deni memperhitungkan harga BBM subsidi jenis premium seharusnya ada di Rp6.000/liter atau naik Rp1.500/liter dari harga saat ini.

Secara terpisah, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Widjajono Partowidagdo mengatakan masalah BBM yang terjadi di Indonesia saat ini sebenarnya bisa diatasi dengan mengonversi BBM ke BBG.

Namun, untuk itu, pemerintah harus terlebih dahulu menyediakan infrastruktur penggunaan gas. Selama ini, Widjajono menilai gas tidak bisa digunakan sebagai bahan bakar di dalam negeri karena ketiadaan infrastruktur. Padahal, harga gas jauh lebih murah ketimbang harga minyak sebagai bahan bakar. (ML/X-10)

Pemerintah Disarankan Hentikan Impor BBM

Investor Daily
Pemerintah Disarankan Hentikan Impor BBM
Rabu, 11 Mei 2011 | 15:19
Head Department of Economic Centre For Strategic and International Studies (CSIS) Raymond Atje (tengah) berbincang bersama peneliti dari CSIS Pratiwi Kartika (kiri) dan Deni Friawan, usai seminar tentang “Penghapusan Subsidi BBM sebagai Rasional Penyelamatan Ekonomi Indonesia” di Jakarta, Selasa (10/5).  Foto: Investor Daily/ant Head Department of Economic Centre For Strategic and International Studies (CSIS) Raymond Atje (tengah) berbincang bersama peneliti dari CSIS Pratiwi Kartika (kiri) dan Deni Friawan, usai seminar tentang “Penghapusan Subsidi BBM sebagai Rasional Penyelamatan Ekonomi Indonesia” di Jakarta, Selasa (10/5). Foto: Investor Daily/ant

JAKARTA – Pemerintah disarankan mengganti impor bahan bakar minyak (BBM) dengan impor gas. Pasalnya, biaya impor gas lebih kecil daripada BBM. Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Widjajono Partowidagdo mengatakan, pemerintah akan kewalahan jika terus mengimpor BBM. Alasannya, harga minyak dunia terus mengalami kenaikan. Karena itu, dia menyarankan pemerintah beralih mengimpor gas.

“Impor BBM itu mahal sekali. Apalagi selama ini kita harus mengimpor hingga ratusan barel per hari. Daripada impor BBM yang mahal, lebih baik impor gas,” kata dia usai menjadi pembicara dalam diskusi Future Energy Challenge di Universitas Trisakti, Selasa (10/5).

Selama ini Indonesia mengimpor BBM sekitar 400 ribu hingga 600 ribu bph untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pasalnya, produksi minyak nasional saat ini masih berkisar 916 ribu bph. Sementara itu, kebutuhan domestik mencapai 1,3 juta kiloliter (KL).

Selain terbebani biaya impor BBM, pemerintah juga masih menanggung biaya subsidi BBM sebesar Rp 95,9 triliun. Padahal, harga minyak dunia semakin tinggi. Apalagi, harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) sudah mencapai US$ 123,36 per barel. Berdasarkan perhitungan, setiap kenaikan ICP US$ 1 per barel akan mengakibatkan defisit APBN sebesar Rp 700 miliar.

Karena itu, dia menyarankan agar dana untuk subsidi BBM dialihkan untuk membangun infrastruktur bahan bakar gas. Sehingga masyarakat bisa menikmati bahan bakar yang lebih murah dan pemerintah tidak terbebani dengan subsidi.

“Masyarakat harus mulai dibiasakan dengan gas, sambil nanti subsidi BBM perlahan dicabut,” kata dia.

Saat ini, harga BBG hanya sekitar Rp 3.100 per liter setara premium (lsp). Sementara BBM subsidi senilai Rp 4.500 per liter dengan harga keekonomian Rp 9.000 per liter. Artinya, memakai gas jauh lebih hemat jika harus menggunakan BBM.

Sementara untuk sektor listrik, biaya produksi listrik dari pembangkit berbahan bakar gas hanya sekitar US$ 10 sen per kilowatt hour (kWh). Untuk pembangkit berbahan bakar BBM menghabiskan biaya setidaknya US$ 35 sen per kWh. “Jadi, lebih hemat 66% kalau memakai gas,” kata dia.

Namun demikian, dia mengakui pengembangan bahan baker gas sulit dilakukan karena terkendala pembangunan LNG terminal yang tidak kunjung rampung. Menurut Widjajono, pembangunan tersebut bisa selesai dalam waktu cepat jika pemerintah mempunyai niat.

“Kita masih tergantung minyak karena permasalahan politik. Ketidakberhasilan ini karena dua hal, pertama politisinya tidak paham, atau mereka memiliki kepentingan sendiri dalam hal ini,” kata dia. (c05)
ARTIKEL
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
JAKARTA. Usai Perang Dunia II, perusahaan perminyakan multinasional mulai mengembangkan usahanya di negara dunia ketiga. Perusahaan-perusahaan terkemuka yang mendominasi produksi, pengolahan, dan distribusi migas waktu itu dikenal dengan sebutan ”The Seven Sisters”.

Sebutan ”The Seven Sister” pertama kali dikenalkan oleh pengusaha asal Italia, Enrico Mattei. ”The Seven Sisters” Oil Company tersebut adalah: EXXON, Royal Ducth/Shell, British Petroleum (BP), MOBIL, CHEVRON, GULF OIL, dan TEXACO. Dengan menguasai produksi, pengolahan dan distribusi minyak mentah, ketujuh perusahaan tersebut berhasil meraih untung yang sangat besar ketika terjadi peningkatan konsumi minyak dunia.

Untuk melindungi kepentingan nasional, negara-negara berkembang kemudian mendirikan perusahaan minyak nasional dengan tujuan mengurangi ketergantungan pada perusahaan multinasional untuk pemasokan migasnya. Lahirnya perusahaan minyak nasional juga memberikan pengetahuan industri perminyakan yang bermanfaat meningkatkan kemampuan pemerintah dalam menilai kinerja perusahaan multinasional di negaranya.

Pada awal 1960, Timur Tengah mulai mengambil alih kontrol perminyakan dunia melalui Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC). Awalnya OPEC didirikan sebagai protes atas usaha ”The Seven Sisters” untuk menurunkan harga minyak yang sangat merugikan negara produsen, dan akhirnya benar-benar menguasai produksi, pengolahan dan distribusi minyak pada tahun 1970. Pamor ”The Seven Sisters” pun mulai meredup.

Seiring dengan bergabungnya beberapa perusahaan “The Seven Sister”, pada tahun 2005 yang tersisa dari “The Seven Sister” adalah ExxonMobil, Chevron, Shell, dan BP.

Pada tanggal 11 Maret 2007, koran Financial Times menyebutkan bahwa saat ini telah lahir apa yang disebut dengan “The New Seven Sister”, yang terdiri dari: Saudi ARAMCO (Saudi Arabia), GAZPROM (Rusia), CNPC (China), NIOC (Iran), PDVSA (Venezuela), Petrobras (Brazil), dan Petronas (Malaysia).


Sumber: “Manajemen dan Ekonomi Migas”, Widjajono Partowidagdo (Anggota Dewan Energi Nasional dari unsur Teknologi Perminyakan) dan beberapa sumber lain.

Dewan Energi Nasional Dukung PLN Impor Gas

TAMBANG, 10 Mei 2011 | 21.42

Dewan Energi Nasional Dukung PLN Impor Gas

Widjajono Partowidagdo
Saifudin
saifudin@majalahtambang.com

Jakarta – TAMBANG. Anggota Dewan Energi Nasional, Widjajono Partowidagdo menyatakan mendukung rencana PT PLN (Persero) mengimpor gas. Menurutnya, Indonesia lebih baik mengimpor gas dibanding bahan bakar minyak (BBM) yang harganya jauh lebih mahal.

“Gas jauh lebih murah ketimbang BBM yang semakin hari harganya terus naik, dan membuat subsidi membengkak,” ucapnya di sela-sela menjadi pembicara seminar energi di Universitas Trisakti, Jakarta, Selasa, 10 Mei 2011.

Guru besar ITB ini menjelaskan, harga gas yang dijual kepada masyarakat juga berada dalam kisaran yang jauh lebih murah dibanding harga BBM yang disubsidi untuk masyarakat saat ini.

“Misalnya sektor transportasi, di mana harga keekonomian bensin premium mencapai sekitar Rp9000,- dan dengan subsidi separuh harga, maka harga jualnya menjadi Rp4500 per liter. Sedangkan untuk harga jual gas, per liter secara premiumnya hanya Rp3100 - Rp3500,- sehingga pemerintah tidak perlu mensubsidi,” ungkapnya.

Terkait impor gas, Widjajono menambahkan bahwa pemerintah juga harus siap menyediakan LNG receiving terminal. Sedangkan mengenai sumber pasokan gas itu sendiri, pemerintah bisa mencari pemasok yang mematok harga murah.

“Beberapa waktu lalu misalnya, PLN kan pernah mau impor gas dari Iran. Pasti Iran akan kasih dengan harga murah sekali, karena merupakan penghasil gas nomor dua di dunia dan gasnya belum ada yang diekspor sampai sekarang,” ungkapnya lagi.

Belum lama ini, Senior Manager Gas & Oil Procurment PLN, M Suryadi Mardjoeki mengungkapkan, pihaknya sedang menjajaki kemungkinan impor gas dari Iran dan Kuwait. Produsen dari dua negara itu bahkan datang ke Indonesia untuk menawarkan gasnya kepada PLN.

Rencananya impor gas tersebut akan digunakan PLN untuk pembangkit listrik Muara Tawar, Jakarta dan pembangkit lainnya. Total kebutuhan gas PLN mencapai 2,014 BBTUD di 2011.

PLN ketir-ketir dengan pasokan gas domestik, karena untuk kebutuhan 2,073 BBTUD di 2010 saja, hanya bisa terpenuhi setengahnya.

Pemerintah Hemat 100 Triliun Gunakan Gas Dan Batubara

PDF Cetak E-mail
Oleh Administrator   
Rabu, 23 Februari 2011 08:09
Batubara
Jakarta, Tambangnews.com.- Pemerintah bisa melakukan penghematan sebesar Rp100 triliun per tahun jika penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi seperti premium, solar dan minyak tanah diganti dengan Bahan Bakar Gas (BBG) dan sumber energi listrik yang mayoritas BBM dialihkan ke batu bara.

     “Hal ini disebabkan karena Indonesia masih ketergantungan dalam penggunaan minyak bumi, sedangkan cadangan minyak bumi di Indonesia hanya bertahan hingga 12 tahun kedepan. Di sisi lain, cadangan gas bumi dan batubara sangatlah melimpah,” kata Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Widjajono Partowidagdo dalam acara Pertemuan Ilmiah Tahunan ke  X 2011 & Musyawarah Nasional Assosiasi Panas Bumi Indonesia, Jakarta, Selasa (22/2).

Widjajono menegaskan harga jual gas dan batubara lebih murah dari pada harga jual bahan bakar minyak.

Menurutnya, untuk bahan bakar minyak transportasi mencapai dua kali lipat dari harga jual gas, sedangkan untuk rumah tangga sekitar tiga kali lipat dari harga gas. Harga bahan bakar minyak bersubsidi jenis premium Rp4.500 per liter, sebaliknya harga gas Rp3.500 per liter. Begitu pula, pembangkit listrik PLN cenderung masih menggunakan bahan bakar minyak.

Ia mengingatkan jika  pemerintah ingin menganti bahan bakar minyak ke bahan bakar gas  atau batu bara, maka pasokannya harus dipersiapkan terlebih dahulu agar tidak terjadi kelangkaan.

“Kelangkaan ini dapat terjadi seperti dalam rangka konversi dari bahan bakar minyak ke bahan bakar gas elpiji, seperti gas tiga kilo gram,” ujarnya.

“Saat itu masyarakat diminta mengganti minyak tanah ke gas, akan  tetapi kita tidak punya pasokan gas, sehingga terjadi kelangkaan,” katanya. (kominfo/EYV/rm)

Masyarakat Balong, Lawan Rencana Pembangunan PLTN Dengan Energi Terbarukan


Jumat, 11 Maret 11 - oleh : bayukrisna

Prof. Widjajono Partowidagdo salah satu anggota Dewan Energi Nasional (DEN) dalam dialog tentang bahaya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang berlangsung di balai Desa Balong Kecamatan Kembang Jepara pada Jumat (11/03/2011) menyatakan menolak rencana pembangunan PLTN.
Kepada peserta dialog yang rata-rata masyarakat Balong, dia mengaku memang bukan ahli dalam hal PLTN, namun dia menyatakan menolak jika PLTN dibangun dengan cara memaksa. “Jika masih ada cara lain yang lebih aman, mengapa harus memilih Nuklir” Ungkapnya.
Widjajono sangat mendukung upaya masyarakat dalam melakukan aksi penolakan rencana pembangunan PLTN. Bahkan dia juga memberikan penjelasa kepada masyarakat Jepara khususnya warga Balong, agar melakukan aksi dengan membuat program pengembangan energi terbarukan. Sehingga upaya penolakan itu akan semakin kuat dengan aksi riil pengembangan energi terbarukan.
Dia mencontohkan, jenis tumbuhan seperti kemiri sunan dan jarak dapat dijadikan sumber energi terbarukan. Untuk kemiri sunan malah lebih mudah dalam pemanenannya karena tidak usah memetik. Sebab kemiri sunan akan jatuh sendiri jika sudah matang.
Menurutnya, tanaman tersebut dapat dikembangkan di Balong dan sekitarnya sehingga akan benar-benar ada energi yang dikehendaki masyarakat. Tak hanya pengembangan tanaman kemiri dan jarak, pengembangan biogas dari kotoran hewan serta sampah di desa tersebut juga dapat diupayakan menjadi energi alternative untuk membuktikan bahwa memang ada energi yang murah dan lebih aman disbanding dengan PLTN. ( Bayu Krisna )

Pengembangan Investasi Sektor Minyak Bumi dan Gas di Indonesia: Persoalan dan Pemecahannya


Senin, 6 Juli 2009
(Berita Daerah - Nasional) - Selama ini kita telah dininabobokan pemeo yang menyatakan Indonesia adalah negeri yang gemah-ripah loh jinawi dengan kekayaan cadangan sumber daya alam terutama bahan fosil yang besar. Faktanya, cadangan terbukti bahan fosil yang kita miliki seperti minyak bumi sekarang ini adalah lebih kecil dibandingkan negara lain seperti Arab Saudi, Iran, Irak, Venezuela, bahkan Malaysia (lihat tabel 1).  Keadaan hampir serupa juga terjadi pada gas (lihat tabel 2). Mengapa kondisi ini dapat terjadi?

Komparasi Cadangan Minyak Indonesia dengan Sejumlah Negara

No.
Negara
Cadangan terbukti minyak bumi (miliar barel)
1.
Arab saudi
264
2.
Iran
138
3.
Irak
115
4.
Venezuela
87
5.
Malaysia
5,5
6
Indonesia
3,7
Sumber : Widjajono Partowidagdo, 3 Juli 2009

Komparasi Cadangan Gas Indonesia dengan Sejumlah Negara

No.
Negara
Cadangan Terbukti Gas (TSCF)
1.
Iran
982
2.
Qatar
904
3.
Indonesia
106
4.
Malaysia
87
5.
Australia
87
Sumber : Widjajono Partowidagdo, 3 Juli 2009
Catatan : Australia dan Malaysia tidak lama lagi akan melampaui Indonesia karena keduanya agresif melakukan pencarian sumber-sumber gas baru.
Iklim Investasi
Produksi dan penemuan sumber minyak bumi dan gas baru di Indonesia cenderung mengalami penurunan selama beberapa tahun terakhir ini. Adalah iklim investasi yang kurang kondusif sebagaimana ditunjukkan melalui kebijakan yang afleksibel dan inkonsisten dianggap sebagai penyebabnya. Selain itu, kinerja birokrat juga menjadi penyebabnya. Birokrat kita di Pertamina, misalnya, masih perlu ditingkatkan kinerjanya melalui bukti responsivitas dan agresivitas mereka yang tinggi dalam upaya meningkatkan pencarian sumber-sumber baru cadangan minyak bumi dan gas, serta dus peningkatan koordinasi antarsektor dan antar pusat-daerah. Sebagai informasi, Australia, dan Malaysia berhasil meningkatkan cadangan migasnya secara signifikan dikarenakan iklim investasi di sana sangat kondusif untuk bidang migas (Widjajono Partowidagdo, 3 Juli 2009).

Keberpihakan Pemerintah
Keberpihakan pemerintah hingga sekarang masih relatif lemah dalam upaya peningkatan kemampuan nasional di bidang migas. Seyogianya, keberpihakan pemerintah kepada perusahaan-perusahaan Indonesia yang bereputasi internasional seperti Medco dan Elnusa ditingkatkan. Artinya, perusahaan-perusahaan Indonesia yang berkinerja baik ini perlu dibantu dan diberikan prioritas dalam tender-tender proyek di sektor migas dibandingkan perusahaan asing. Harapannya melalui keberpihakan ini, Indonesia dapat berdikari di sektor migas sehingga tidak bertumpu sepenuhnya pada perusahaan-perusahaan minyak asing.   

Alternatif Pemecahan
Melihat kedua persoalan di atas, kita dapat memperbaikinya sehingga reinvestasi sektor migas di Indonesia dapat ditingkatkan. Bagaimana caranya? Caranya (Widjajono Partowidagdo, 3 Juli 2009) antara lain, kita dapat menggunakan dana depletion premium dari energi tak terbarukan dari sektor migas yang jumlahnya sekitar 10% dari equity to be split (revenue dikurangi recoverable cost). Maksudnya, dari dana depletion premium itu, kita dapat memanfaatkannya untuk, misalnya, peningkatan kualitas informasi bagi penawaran konsesi-konsesi baru di sektor migas, dan mempersiapkan infrastruktur pendukung migas dengan lebih baik lagi kualitas dan kuantitasnya. Selain itu, agar investor tertarik memasuki sektor migas, maka sebaiknya kita tidak memberlakukan harga pasar bila harga premium tinggi (Widjajono Partowidagdo, 3 Juli 2009). Artinya, kelebihan dana yang diperoleh dalam kondisi ini, dana tersebut dapat kita manfaatkan untuk insentif pengembangan sumber daya terbarukan seperti bahan bakar nabati (jarak, misalnya), energi panas bumi, mikrohidro, surya, dan angin.

Konversi BBM ke Gas Terkendala Infrastruktur

Jakarta, Rabu (11/05/2011)
Masalah bahan bakar minyak (BBM) yang terjadi di Indonesia bisa diatasi dengan segera dengan konversi ke bahan bakar gas (BBG). Namun masalah infrastruktur masih menjadi kendala. Karena itu, pemerintah harus terlebih dahulu menyediakan infrastruktur untuk penggunaan gas tersebut.

Demikian yang diungkapkan anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Widjajono Partowidagdo di Jakarta, Selasa (10/5).

"Jadi kita ingin membuat transisi dari minyak ke gas. Itu mudah, sediakan infrastrukturnya," katanya.

Selama ini gas tidak bisa digunakan sebagai bahan bakar di dalam negri karena tidak ada infrastrukturnya. Padahal harga gas lebih murah daripada harga minyak sebagai bahan bakar.

"Buat receiving terminal LNG sekarang maka selesai masalah gas itu," ujar Widjajono.

Ia mengatakan bahwa selama ini kesulitan pembangunan infrastruktur gas adalah masalah pembebasan lahan untuk receiving terminal dan pipa gas.

Lebih lanjut Widjajono menyampaikan bahwa BBM subsidi sebaiknya dicabut tetapi dengan syarat pemerintah menggantinya dengan BBG.

"Subsidi itu gak apa-apa dinaikkan tapi ada kepastian BBG masuk. Seperti dulu minyak tanah dihapuskan, baru gas masuk," ujarnya.

Untuk langkah awal, BBG bisa digunakan untuk transportasi publik terlebih dahulu seperti bus dan taksi. Jika sudah digunakan untuk transportasi publik, lama-kelamaan kendaraan pribadi juga bisa mengikuti menggunakan BBG.

"Public transportation saja dulu, bus, taksi, dan yang belum juga microbus. Nanti kendaraan pribadi tinggal beli converter kit-nya," pungkas Widjajono.
(mediaindonesia.com)

Stok Dalam Negeri Mengkhawatirkan, Indonesia Bukan Lagi Negara Minyak

SEMARANG, RIMANEWS - Indonesia sebaiknya segera mengurangi penggunaan bahan bakar minyak (BBM). Pasalnya cadangan energi minyak bumi Indonesia saat ini hanya tersisa 3,7 miliar barel dari 56,6 miliar barel sumber daya yang dimiliki atau 0,3 persen dari cadangan minyak dunia.
"Saat ini cadangan energi terbanyak yang dimiliki Indonesia adalah energi non minyak," kata pakar minyak sekaligus anggota Dewan Energi Nasional, Widjajono Partowidagdo, dalam sarasehan Peran LPG Sebagai Alternatif Utama Bahan Bakar Pengganti  yang diselenggarakan PT Alos Bangun Energidi Hotel Gumaya, Senin (30/5).
Menurut Widjajono, Indonesia tidak kaya akan minyak. Karena itulah impor BBM sebesar 600 ribu barel per hari perlu dilakukan pemerintah. Meski selama ini Indonesia mampu memproduksi minyak sebesar 357 juta barel per tahun, dengan jumlah ekspor minyak mentah sebesar 146 juta barel per tahun.
Namun Indonesia juga mengimpor minyak mentah sebesar 93 juta barel per tahun, dan BBM 153 juta barel. Jumlah konsumsi BBM sebanyak 457 juta barel per tahun. "Ada defisit energi sebesar 100 juta barel per tahun. Sebagai negara importir minyak dan tidak memiliki cadangan minyak yang banyak, sangat tidak bijaksana bila pemerintah ikut-ikutan menyelenggarakan harga BBM murah dengan cara subsidi, seperti di negara-negara yang cadangan minyaknya melimpah," paparnya.
Meski begitu, bukan berarti cadangan minyak Indonesia akan segera habis. Cadangan minyak Indonesia terbukti rendah karena sistem fiskal yang tidak fleksibel, dan iklim investasi yang kurang menarik. "Namun sebaiknya kembangkan sebanyak mungkin energi lain yakni batubara, gas, tenaga air, panas bumi, CBM (Coal Bed Methane), serta energi terbarukan. Hal lain yang juga penting adalah lakukan penghematan energi," kata dia.
Widjajono menyarankan, penghematan energi bisa dilakukan melalui mensubstitusi BBM dengan gas seperti minyak tanah yang harganya Rp 6.000 per liter oleh LPG (Liquefied Petroleum Gas) untuk tabung 12 kg adalag Rp 6.000 per kilogram yang setara dengan Rp 3.500 per liter minyak tanah. Sementara untuk tabung 3 kg Rp 4.000 per kilogram atau setara dengan Rp 2.500 per liter minyak tanah.(CN/ian)

Mencari Strategi Subsidi Energi Menguntungkan

krisislistrik
Ilustrasi.


Ditulis oleh Oleh Virna Puspa Setyorini/ Era Baru Selasa, 13 Juli 2010

Jakarta - Ribut-ribut soal ketersediaan energi murah untuk rakyat di negeri ini masih berlanjut hingga awal semester dua 2010.
Kenyataan yang terjadi, subsidi masih menjadi andalan untuk energi murah, namun sekaligus menjadi bumerang bagi APBN.
Permasalahan energi yang dapat menjadi pembahasan terkini di masyarakat saat, antara lain ledakan tabung gas tiga kilogram yang banyak memakan korban.
Di tingkat industri, permasalahan energi yang muncul adalah kenaikan tarif dasar listrik yang dikhawatirkan menyebabkan daya saing berkurang. Bahkan secara ekstrim, kenaikan itu bakal mematikan industri yang sedang dalam kondisi "tidak sehat".
Kenaikan itu akhirnya membuat Menteri Perindustrian MS Hidayat risau.
Sebelum melakukan inspeksi ke produsen selang dan regulator tabung gas tiga kg di daerah Cikarang, Jawa Barat, Senin (12/07), ia menegaskan, jika memang kenaikan TDL benar berdampak negatif bagi pertumbuhan industri, maka harus ada komponen lain yang bisa diturunkan untuk menggantikan kenaikan tersebut.
Saat dikonfirmasi komponen apa yang seharusnya diturunkan untuk mengimbangi kenaikan TDL listrik, ia menjawab,"Kita akan bicara lagi setelah kepastian nilai kenaikan TDL ditetapkan".
Artinya belum ada solusi energi yang pasti bagi industri di tanah air untuk menjadi lebih berkembang.
Masalah energi lainnya yang juga masih belum mencapai keputusan final yakni rencana pembatasan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, yang bagi industri otomotif menimbulkan keresahan setelah isu kenaikan berbagai jenis pajak terkait kepemilikan kendaraan bermotor.
Semua permasalahan di atas berawal dari keterbatasan kemampuan APBN dalam menanggung beban kebutuhan energi masyarakat yang semakin berkembang. Sehingga pemerintah mulai mempertimbangkan pengurangan subsidi guna menyelamatkan APBN.
Profesor Institut Teknologi Bandung yang juga anggota Dewan Energi Nasional Widjajono Partowidagdo, dalam sebuah forum diskusi dengan wartawan mengatakan, ada anggapan keliru mengenai energi di Indonesia selama ini.
Kekeliruan tersebut antara lain adanya anggapan bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya minyak, karena kaya minyak maka harga BBM harus murah, investor akan datang dengan sendirinya tanpa iklim investasi yang baik, dan peningkatan kemampuan nasional mencukupi energi akan datang sendirinya tanpa perlu keberpihakan pemerintah.
Widjajono berpendapat Indonesia bukanlah negara yang kaya minyak, karena kenyataannya Indonesia lebih banyak memiliki energi lain seperti batubara, gas, "Coal Bed Methane" (CBM), panas bumi, air, dan bahan bakar nabati.
Menurut dia, kebergantungan Indonesia pada BBM berakhir pada impor minyak dan BBM yang semakin besar dan otomatis menguras APBN. Secara tidak disadari hal tersebut semakin menutup kesempatan energi alternatif berkembang di Indonesia.
"Akan lebih menguntungkan jika yang disubsidi itu gas karena lebih murah, jadi subsidinya kan juga murah toh. Lah ini pemerintah masih terus memilih minyak yang harganya semakin mahal, ya otomatis anggarannya habis untuk mensubsidi yang mahal," kata Widjajono.
Menurut dia, jika pemerintah berani menghentikan subsidi BBM dan menggunakannya untuk membangun infrastruktur gas yang memang membutuhkan dana besar maka beban APBN di masa depan akan lebih berkurang.
"Kalau infrastrukturnya sudah bagus kan dengan cepat yang lain menyesuaikan. Otomotif akan cepat berganti dengan gas, begitu pula dengan industri, sehingga BBM akan benar-benar ditinggalkan subsidi pun otomatis akan berkurang," lanjutnya.
Ia mencontohkan walaupun pemakaian BBM tahun 2007 hanya sebesar 23.571 GWh -kurang setengahnya dari pemakaian batubara 50.447 GWh- tetapi biaya BBM lebih dari empat kali lipat batubara yakni Rp 31,79 triliun. Sedangkan biaya batubara hanya Rp 6,98 triliun.

Subsidi energi alternatif

Tidak hanya energi yang termurah yang menurut Widjajono diberikan subsidi. Energi alternatif pun perlu disubsidi sehingga cepat berkembang.
Jika pemerintah ingin terus menerapkan harga politik -listik enam sen dolar per kWh, premium serta solar Rp 4.500 per liter, maka pemerintah juga harus memberikan subsidi pada energi alternatif.
"Kalau energi alternatif semakin berkembang tentu kita bisa menekan impor BBM yang mahal itu," ujar dia.
Secara langsung pemerintah dapat mengajarkan masyarakat untuk melakukan penghematan energi dan penggunaan energi alternatif. "Beri insentif bagi mereka yang menggunakan mobil berbahan bakar hidrogen, beri insnetif pula kalau ia bisa hemat BBM. Tapi kalau ia tidak bisa hemat BBM, terapkan disinsentif," lanjut Widjajono.
Sebagai pelaku usaha di bidang otomotif, Presiden Direktur PT Toyota Astra Motor (TAM) Johnny Darmawan sangat menyayangkan tidak adanya kebijakan pemerintah yang mendukung penggunaan kendaraan berbahan bakar alternatif yang lebih ramah lingkungan.
Pengalaman menjual Toyota Prius sebagai kendaraan ramah lingkungan berbahan bakar hibrid di Indonesia menjadi pengalaman tersendiri bagi produsen otomotif besar asal Jepang itu.
"Masyarakat sih kalau di lihat produknya ok. Tapi kalau sudah tahu harganya ya batal. Harusnya pemerintah memberikan subsidi bukannya justru menerapkan pajak yang tinggi," ujar Johnny di sela-sela peluncuran program "Toyota Car for Tree".
Kebijakan yang tidak mendukung berkembangnya energi alternatif itulah yang menurut dia membuat Indonesia tertinggal dengan negara-negara lain, termasuk dengan Thailand, dalam pemanfaatan energi alternatif terbarukan.(ant/waa)

Kamis, 18 Agustus 2011

Karena Kita Tidak Tinggal di Surga
Oleh: Widjajono Partowidagdo, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN)
Rabu, 25 Agustus 2010 , 00:08:00 WIB

  

Pengantar Redaksi:

Tulisan berikut merupakan bagian pertama dari seri tulisan Prof. Dr. Widjajono Partowidagdo, anggota Dewan Energi Nasional (DEN), yang disampaikan dalam Round Table Discussion membedah buku karya Prof. Jimly Asshidiqie, “Ekonomi Konstitusi” di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu, 18 Agustus 2010.
Redaksi merasa perlu menampilkan secara utuh pandangan dan penilaian Prof. Widjajono mengenai konsep ekonomi konstitusi agar pembaca Rakyat Merdeka Online memperoleh kesempatan untuk mengikuti pembicaraan yang menarik ini.
Atas izin Sabang Merauke Circle, yang menyelenggarakan diskusi tersebut, naskah ini dimuat ulang di Rakyat Merdeka Online secara bersambung dengan penyesuaian pada judul.
Selamat mengikuti.
TOLD G. Buchholz dalam bukunya “New Ideas From Dead Economists” mengatakan bahwa ekonomi adalah ilmu memilih. Dia bukan memberitahu kita apa yang dipilih, tetapi menolong kita mengerti konsekuensi-konsekuensi dari pilihan-pilihan kita.
Perlu disadari bahwa manusia harus membuat pilihan-pilihan yang sulit. Kita tidak tinggal di surga, dimana susu dan madu mengalir. Dunia penuh keterbatasan, sehingga kita tidak dapat mendapatkan semua sekaligus. Sedangkan politik adalah proses yang menentukan pandangan-pandangan (values) siapa yang akan berlaku di masyarakat. Sehingga, politik adalah proses untuk menentukan pilihan kita. Akibatnya ekonomi sangat dekat dengan politik.
Ada sejumlah anggapan dasar yang menjadi titik tolak konsep politik. Berikut adalah konsep politik yang saya kutip dari Monte Palmer dan William Thompson: Pertama, setiap masyarakat menghadapi kelangkaan dan keterbatasan sumber-sumber sehingga konflik timbul dalam proses penentuan distribusi.
Kedua, kelompok yang dominan dalam masyarakat ikut serta dalam proses pendistribusian dan pengalokasian sumber-sumber melalui keputusan politik sebagai upaya menegakkan pelaksanaan keputusan politik.
Ketiga, pemerintah mengalokasikan sumber-sumber yang langka pada beberapa kelompok dan individu, tetapi mengurangi atau tak mengalokasikan sumber-sumber itu pada kelompok dan individu yang lain. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak akan pernah menguntungkan semua pihak.
Keempat, ada tekanan secara terus-menerus untuk mengalokasikan sumber-sumber yang langka. Tekanan-tekanan berupa petisi, demonstrasi, protes, huru-hara, dan perdebatan dalam proses pemilihan umum yang berasal dari golongan yang tidak puas (tidak kebagian atau merasa dirugikan) terhadap pola distribusi sumber yang ada merupakan gejala umum dalam masyarakat.
Kelima, dengan meluasnya tekanan-tekanan, maka kelompok atau individu yang mendapatkan keuntungan dari pola distribusi sumber yang ada berupaya keras untuk mempertahankan struktur yang menguntungkan.
Keenam, makin mampu penguasa meyakinkan masyarakat umum bahwa sistem politik yang ada memiliki keabsahan (legitimasi), maka makin mantap kedudukan penguasa dan kelompok yang diuntungkan dalam perjuangan mereka menghadapi golongan yang menghendaki perubahan.
Pada setiap masyarakat, penguasa berusaha mempertahankan kekuasaannya yang istimewa. Upaya itu dilakukan dengan mencari pembenaran-pembenaran dalam bentuk ideologi, mitos nasional, ajaran agama, dan formula-formula politik lainnya.
Maksudnya, penguasa acap kali melakukan pembohongan atau setengah benar-setengah bohong untuk menyakinkan masyarakat.
Ketujuh, politik tetap merupakan the art of the possible, banyak kebijakan ideal yang dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi masyarakat ternyata hanya berupa pemecahan yang semu sebab sulit dilaksanakan dalam kenyataan.
Dalam dunia nyata, ada pelbagai kendala yang berupa watak manusia, kekuasaan, pranata-pranata sosial, kelangkaan teknologi, dan faktor tak terduga yang lain yang membatasi apa yang secara aktual dapat dilakukan.
Kedelapan, dalam politik tidak ada yang serba gratis. Maksudnya, setiap aksi yang dilakukan selalu ada ongkos yang harus dibayar atau risiko yang mesti ditanggung. Setiap usul kebijakan untuk memecahkan masalah selalu mengandung unsur untung-rugi. Bersambung
Antara Kegagalan Pasar dan Kegagalan Pemerintah
Oleh: Widjajono Partowidagdo, Dewan Energi Nasional (DEN)
Sabtu, 28 Agustus 2010 , 14:39:00 WIB

  

Pengantar Redaksi:

Tulisan berikut merupakan bagian kedua dari seri tulisan Prof. Dr. Widjajono Partowidagdo, anggota Dewan Energi Nasional (DEN), yang disampaikan dalam Round Table Discussion membedah buku karya Prof. Jimly Asshidiqie, “Ekonomi Konstitusi” di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu, 18 Agustus 2010.
Redaksi merasa perlu menampilkan secara utuh pandangan dan penilaian Prof. Widjajono mengenai konsep ekonomi konstitusi agar pembaca Rakyat Merdeka Online memperoleh kesempatan untuk mengikuti pembicaraan yang menarik ini.
Atas izin Sabang Merauke Circle, yang menyelenggarakan diskusi tersebut, naskah ini dimuat ulang di Rakyat Merdeka Online secara bersambung dengan penyesuaian pada judul.
Selamat mengikuti.
 WEIMEIR dan Vining mengatakan bahwa hidup ini adalah interaksi dan transaksi antar warga masyarakat. Dalam pengertian luas, pasar adalah mekanisme interaksi dan transaksi warga masyarakat tersebut. Sehingga ketidakadilan dalam interaksi atau transaksi tersebut disebut sebagai market failures atau kegagalan pasar.
Kegagalan pasar tersebut dapat terjadi karena ketidakadilan dalam pengelolaan barang publik, kekuatan yang mendominasi pasar (monopoli, monopsoni, oligopoli, oligopsoni), eksternalitas (baik fisik maupun sosial) yang diabaikan, asimetri informasi, preferensi yang merugikan, ketidakpastian yang mengakibatkan pengambilan keputusan yang tidak tepat, kepentingan generasi mendatang yang diabaikan dan biaya penyesuaian yang terlalu mahal.
Untuk mengatasi ketidakadilan dalam interaksi atau transaksi warga masyarakat maka dibentuklah pemerintahan, sehingga tugas pemerintah yang utama adalah mengatasi kegagalan pasar serta memenuhi kebutuhan barang publik.
Barang publik dapat diusahakan oleh swasta maupun BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Walaupun demikian perlu disadari bahwa pemerintah tersebut terdiri dari manusia yang mempunyai kepentingan dan keterbatasan pribadi, sehingga dalam melaksanakan tugasnya bias saja tidak optimal. Hal ini biasa disebut dengan government failures atau kegagalan pemerintah.
Kegagalan pemerintah meliputi permasalahan demokrasi yang menyangkut ketidakadilan pelaksanaannya, permasalahan birokrat yang meliputi kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) dan ketidakefisienan partisipasi birokrat, permasalahan birokrasi yang menyangkut ketidakefisienan, ketidakjelasan, ketidaklengkapan dan ketiadaan peraturan pemerintah serta ketidaktepatan implementasinya, dan masalah desentralisasi yang menyangkut ketidaktepatan implementasi dalam pembagian tugas dan dana.
Masalah lain dalam kehidupan ini adalah masalah keadilan atau pemerataan yaitu keadilan atas kesempatan dan keadilan atas pendapatan. Keadilan atas kesempatan contohnya adalah untuk memperoleh pendidikan, akses transportasi, air dan listrik. Keadilan atas pendapatan kalau di luar negeri berupa social security (disediakan oleh pemerintah) dan di Indonesia berupa upah minimum regional (diatur olah pemerintah untuk disediakan pemerintah sendiri maupun swasta). Bersambung