Ditulis oleh Oleh Virna Puspa Setyorini/ Era Baru | Selasa, 13 Juli 2010 |
Jakarta - Ribut-ribut soal ketersediaan energi murah untuk rakyat di negeri ini masih berlanjut hingga awal semester dua 2010. Kenyataan yang terjadi, subsidi masih menjadi andalan untuk energi murah, namun sekaligus menjadi bumerang bagi APBN. Permasalahan energi yang dapat menjadi pembahasan terkini di masyarakat saat, antara lain ledakan tabung gas tiga kilogram yang banyak memakan korban. Di tingkat industri, permasalahan energi yang muncul adalah kenaikan tarif dasar listrik yang dikhawatirkan menyebabkan daya saing berkurang. Bahkan secara ekstrim, kenaikan itu bakal mematikan industri yang sedang dalam kondisi "tidak sehat". Kenaikan itu akhirnya membuat Menteri Perindustrian MS Hidayat risau. Sebelum melakukan inspeksi ke produsen selang dan regulator tabung gas tiga kg di daerah Cikarang, Jawa Barat, Senin (12/07), ia menegaskan, jika memang kenaikan TDL benar berdampak negatif bagi pertumbuhan industri, maka harus ada komponen lain yang bisa diturunkan untuk menggantikan kenaikan tersebut. Saat dikonfirmasi komponen apa yang seharusnya diturunkan untuk mengimbangi kenaikan TDL listrik, ia menjawab,"Kita akan bicara lagi setelah kepastian nilai kenaikan TDL ditetapkan". Artinya belum ada solusi energi yang pasti bagi industri di tanah air untuk menjadi lebih berkembang. Masalah energi lainnya yang juga masih belum mencapai keputusan final yakni rencana pembatasan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, yang bagi industri otomotif menimbulkan keresahan setelah isu kenaikan berbagai jenis pajak terkait kepemilikan kendaraan bermotor. Semua permasalahan di atas berawal dari keterbatasan kemampuan APBN dalam menanggung beban kebutuhan energi masyarakat yang semakin berkembang. Sehingga pemerintah mulai mempertimbangkan pengurangan subsidi guna menyelamatkan APBN. Profesor Institut Teknologi Bandung yang juga anggota Dewan Energi Nasional Widjajono Partowidagdo, dalam sebuah forum diskusi dengan wartawan mengatakan, ada anggapan keliru mengenai energi di Indonesia selama ini. Kekeliruan tersebut antara lain adanya anggapan bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya minyak, karena kaya minyak maka harga BBM harus murah, investor akan datang dengan sendirinya tanpa iklim investasi yang baik, dan peningkatan kemampuan nasional mencukupi energi akan datang sendirinya tanpa perlu keberpihakan pemerintah. Widjajono berpendapat Indonesia bukanlah negara yang kaya minyak, karena kenyataannya Indonesia lebih banyak memiliki energi lain seperti batubara, gas, "Coal Bed Methane" (CBM), panas bumi, air, dan bahan bakar nabati. Menurut dia, kebergantungan Indonesia pada BBM berakhir pada impor minyak dan BBM yang semakin besar dan otomatis menguras APBN. Secara tidak disadari hal tersebut semakin menutup kesempatan energi alternatif berkembang di Indonesia. "Akan lebih menguntungkan jika yang disubsidi itu gas karena lebih murah, jadi subsidinya kan juga murah toh. Lah ini pemerintah masih terus memilih minyak yang harganya semakin mahal, ya otomatis anggarannya habis untuk mensubsidi yang mahal," kata Widjajono. Menurut dia, jika pemerintah berani menghentikan subsidi BBM dan menggunakannya untuk membangun infrastruktur gas yang memang membutuhkan dana besar maka beban APBN di masa depan akan lebih berkurang. "Kalau infrastrukturnya sudah bagus kan dengan cepat yang lain menyesuaikan. Otomotif akan cepat berganti dengan gas, begitu pula dengan industri, sehingga BBM akan benar-benar ditinggalkan subsidi pun otomatis akan berkurang," lanjutnya. Ia mencontohkan walaupun pemakaian BBM tahun 2007 hanya sebesar 23.571 GWh -kurang setengahnya dari pemakaian batubara 50.447 GWh- tetapi biaya BBM lebih dari empat kali lipat batubara yakni Rp 31,79 triliun. Sedangkan biaya batubara hanya Rp 6,98 triliun. Subsidi energi alternatifTidak hanya energi yang termurah yang menurut Widjajono diberikan subsidi. Energi alternatif pun perlu disubsidi sehingga cepat berkembang. Jika pemerintah ingin terus menerapkan harga politik -listik enam sen dolar per kWh, premium serta solar Rp 4.500 per liter, maka pemerintah juga harus memberikan subsidi pada energi alternatif. "Kalau energi alternatif semakin berkembang tentu kita bisa menekan impor BBM yang mahal itu," ujar dia. Secara langsung pemerintah dapat mengajarkan masyarakat untuk melakukan penghematan energi dan penggunaan energi alternatif. "Beri insentif bagi mereka yang menggunakan mobil berbahan bakar hidrogen, beri insnetif pula kalau ia bisa hemat BBM. Tapi kalau ia tidak bisa hemat BBM, terapkan disinsentif," lanjut Widjajono. Sebagai pelaku usaha di bidang otomotif, Presiden Direktur PT Toyota Astra Motor (TAM) Johnny Darmawan sangat menyayangkan tidak adanya kebijakan pemerintah yang mendukung penggunaan kendaraan berbahan bakar alternatif yang lebih ramah lingkungan. Pengalaman menjual Toyota Prius sebagai kendaraan ramah lingkungan berbahan bakar hibrid di Indonesia menjadi pengalaman tersendiri bagi produsen otomotif besar asal Jepang itu. "Masyarakat sih kalau di lihat produknya ok. Tapi kalau sudah tahu harganya ya batal. Harusnya pemerintah memberikan subsidi bukannya justru menerapkan pajak yang tinggi," ujar Johnny di sela-sela peluncuran program "Toyota Car for Tree". Kebijakan yang tidak mendukung berkembangnya energi alternatif itulah yang menurut dia membuat Indonesia tertinggal dengan negara-negara lain, termasuk dengan Thailand, dalam pemanfaatan energi alternatif terbarukan.(ant/waa) |