Diambil dari Mailist IndoEnergi – LUSI – Oleh: Widjajono Partowidagdo
Seorang Pejabat Tinggi Negara mengirim sms kepada penulis: Saya baca pengambilan keputusan ilmiah (?) melalui voting di sidang AAPG. Bukankah dalam ranah ilmiah kita pegang teguh bahwa sebuah teori itu benar sebelum ada teori lain yang lebih benar?. Penulis jawab: Voting adalah pengambilan keputusan politik. Politik adalah proses yang menentukan pandangan-pandangan (values) siapa yang akan berlaku di masyarakat. Dia sms lagi: Tapi itu terjadi di pertemuan ilmiah bergengsi?. Penulis jawab: It happened in the past. Galileo masuk penjara dan Socrates minum racun karena voting.
Walaupun kalau menyangkut ilmiah seharusnya tidak, sejarah mencatat ulama dan akademisi berpolitik. Di penjara Galileo menulis kepada Christina dari Loraine bahwa pencarian kebenaran oleh ilmuwan dilakukan untuk membuat mereka melihat apa yang tidak mereka lihat, tidak untuk memahami apa yang telah mereka pahami dan ketika mencari, adalah untuk menemukan lawan dari yang mereka temukan.
Dr. Rudi Rubiandini mengirim email dari Cape Town pada tanggal 29 Oktober 2008 menyatakan bahwa kongres AAPG (American Association of Petroleum Geologist) yang diselenggarakan 26-29 Oktober di kota tersebut mempresentasikan 600 makalah dan 97 tema yang berbeda dengan 6 tema utama dan salah satunya adalah Lumpur Sidoarjo (Lusi) yang diselenggarakan 28 Oktober dan dihadiri sekitar 90 an peserta. Pada acara Lusi tersebut dilakukan voting untuk menentukan penyebab Lusi dengan hasil 3 suara mendukung Gempa Yogya, 42 menyatakan Pemboran, 13 Kombinasi dan 16 Belum Bisa Mengambil Opini.
Kalau ada 600 makalah maka penulis perkirakan Ahli Geologi yang hadir disana sekitar 2000 orang atau lebih. Makalah geologi biasanya ditulis lebih dari satu penulis dan tentunya terdapat peserta yang tidak membawakan makalah, disamping mengingat daya tarik Afrika Selatan bagi Ahli Geologi yang biasanya petualang. Peserta yang berminat mengikuti Lusi adalah 90 an. Yang aneh adalah pada acara Lusi tersebut dilakukan voting, karena tidak biasanya pada pertemuan ilmiah dilakukan voting. Yang dicari pertemuan ilmiah adalah pembelajaran dan bukan kemenangan. Bisa diperkirakan kalau yang memberikan suara 74 peserta maka sekitar 20 peserta tidak memberikan suara (Golput).
Lusi ini sangat terkenal. Kalau di Negeri Jiran ada iklan: The real Asia is Malaysia. Sebagai tandingan (lelucon): The real Kuala Lumpur is Sidoarjo.
Menurut Bisnis Indonesia (eries.adlin@bisnis.co.id), Jumat, 31/10/2008, Semburan lumpur Sidoarjo tak hanya bergema di Indonesia. Pertemuaan ahli geologi dunia di Cape Town, Afsel, yang berakhir 29 Oktober, juga menjadikan musibah itu salah satu pembahasan utama.
Tak jauh berbeda dengan di Tanah Air, silang pendapat juga terjadi di sana. Apakah lumpur Sidoarjo merupakan fenomena alam atau akibat dari proses pengeboran yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas?
Pada pertemuan yang disponsori oleh American Association of Petroleum Geologist (AAPG), dua peserta ahli yakni Maurice Dusseault dari Universitas Waterloo, Kanada, dan Baldeo Singh dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), AS, berdasarkan riset mereka, cenderung melihat musibah tersebut adalah fenomena alam.
“Kami cenderung melihat semburan itu fenomena alam yang sukar diprediksi,” kata Dusseault dalam situs www.aapg,com.
Singh memprediksi kejadian itu terkait dengan gempa di Yogyakarta sebelum musibah mudvolcano Sidoarjo, 26 Mei 2006.
“Gempa dan gempa-gempa susulan di Yogyakarta tampaknya menjadi kunci penyebab kejadian,” kata Singh.
Simposium itu menghadirkan lima pembicara yaitu Richard Davies (Durham University, Inggris), Adriano Mazzini (University of Oslo), Bambang Istadi (pakar Lapindo), anggota AAPG Mark Tingay (School of Earth and Environmental Sciences Perth), dan Hasan Abidin (ITB).
Dua kelompok
Pembicara pada pertemuan tersebut memang menghadirkan kelompok yang mewakili pandangan masing-masing.
Dari kelompok yang memandang lumpur Sidoarjo dipicu oleh proses pengeboran gas di kawasan Banjar Panji 1, Sidoarjo, adalah Davies dan Tingay.
Bambang dan Mazzini adalah pakar yang berpandangan bahwa musibah lumpur karena efek dari gempa di Yogyakarta yang terjadi 2 hari sebelumnya.
Davies menyatakan, berdasarkan riset mereka, gempa di Yogyakarta terlalu kecil dan jauh untuk termasuk dalam rantai penyebab musibah lumpur Sidoarjo.
Debat dua kelompok itu sebenarnya juga sudah terjadi sejak setahun lalu. Pada Juli 2007, jurnal Earth and Planetary Science Letters memuat penelitian tim geologi tiga negara, yakni Norwegia, Prancis dan Rusia, yang dipimpin Mazzini.
Tim itu menyatakan bencana di Sidoarjo sangat mungkin disebabkan oleh gempa bumi. “Gempa mendistribusi ulang tekanan di dalam bumi, menyebabkan hawa panas bertekanan tinggi yang dapat meletus di banyak tempat di bawah permukaan tanah,” kata Mazzini.
Dalam simposium ahli geologi itu, menurut situs AAPG, pembahasan lumpur Sidoarjo juga mengaitkan nama Aburizal Bakrie dan pembicaraan menyentuh apakah lumpur Sidoarjo adalah persoalan sains atau politik.
Namun, panitia lebih mengedepankan pendekatan ilmiah dibandingkan dengan persoalan politis.
Sebagai seorang yang pernah belajar Teknik Pemboran penulis tahu bahwa blow out (semburan fluida liar) dapat diakibatkan oleh kesalahan pemboran karena tidak dipasangnya casing (selubung logam) ketika melalui tekanan abnormal. Yang penulis tidak tahu adalah apakah pada saat yang bersamaan terjadi fenomena alam. Penulis merasa tidak cukup belajar geologi utuk menjelaskan hal tersebut.
Waktu mendaki gunung Lawu dan gunung Rinjani penulis melihat pendaki turun gunung hanya mengenakan baju, sarung dan sandal jepit, artinya mereka selamat. Walaupun demikian, pernah diberitakan di koran bahwa terdapat kelompok yang mati kedinginan akibat mendaki di masing-masing gunung tersebut karena pakaiannya tidak cukup melindungi tubuh ketika badai (fenomena alam) datang. Kita bisa berpendapat bahwa kalau dia pakai pakaian cukup pasti selamat. Kemungkinan lebih selamat ya, tetapi pasti selamat adalah kehendak Tuhan. Pendaki yang terbaik dengan pakaian dan perlengkapan terbaik sekalipun bisa mengalami musibah.
Dalam keadaan yang dilematis ini penulis mengusulkan supaya upaya mengatasi permasalahan Lumpur Sidoarjo (Lusi) ditangani dengan biaya 50 persen oleh Lapindo dan 50 persen oleh Pemerintah. Sebaiknya kegiatan dikelola oleh Pemerintah sedangkan pemilihan operator untuk setiap kegiatan perlu dilelang. Perlu adanya audit keuangan oleh akuntan publik. Kalau tidak ada penyelesaian, kasihan masyarakat yang mendapat musibah karenanya.
Penulis menganjurkan sebelum melakukan operasi pemboran berikutnya, perlu dilakukan pemotretan keadaan di bawah tanah. Perlu masukan dari ahli geologi dan geofisika mengenai caranya. Apa memakai 3D seismic atau gravity. Ada yang berpendapat bahwa tidak mungkin bahwa produksi lumpur sebesar 150 M3 per hari atau 943 barel per hari atau medekati produksi minyak Indonesia tersebut dapat ditutup hanya di satu lubang sumur, ada yang berpendapat bisa.
Tanpa potret (semacam citiscan) operasi pemboran tersebut adalah seperti operasi kanker usus tanpa mengetahui apakah kanker itu hanya di sebagian usus atau sudah menjalar kemana-mana. Dari evaluasi potret tersebut bisa diputuskan apakah operasi pemboran itu perlu atau tidak.
Mungkin juga dari potret tersebut bisa diketahui (mungkin juga tidak) apakah Lusi akibat proses pemboran, fenomena alam atau keduanya. Galileo membuktikan bahwa bumi itu bulat melalui teropongnya.
Tulisan ini adalah pendapat pribadi.