Kamis, 18 Agustus 2011

Karena Kita Tidak Tinggal di Surga
Oleh: Widjajono Partowidagdo, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN)
Rabu, 25 Agustus 2010 , 00:08:00 WIB

  

Pengantar Redaksi:

Tulisan berikut merupakan bagian pertama dari seri tulisan Prof. Dr. Widjajono Partowidagdo, anggota Dewan Energi Nasional (DEN), yang disampaikan dalam Round Table Discussion membedah buku karya Prof. Jimly Asshidiqie, “Ekonomi Konstitusi” di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu, 18 Agustus 2010.
Redaksi merasa perlu menampilkan secara utuh pandangan dan penilaian Prof. Widjajono mengenai konsep ekonomi konstitusi agar pembaca Rakyat Merdeka Online memperoleh kesempatan untuk mengikuti pembicaraan yang menarik ini.
Atas izin Sabang Merauke Circle, yang menyelenggarakan diskusi tersebut, naskah ini dimuat ulang di Rakyat Merdeka Online secara bersambung dengan penyesuaian pada judul.
Selamat mengikuti.
TOLD G. Buchholz dalam bukunya “New Ideas From Dead Economists” mengatakan bahwa ekonomi adalah ilmu memilih. Dia bukan memberitahu kita apa yang dipilih, tetapi menolong kita mengerti konsekuensi-konsekuensi dari pilihan-pilihan kita.
Perlu disadari bahwa manusia harus membuat pilihan-pilihan yang sulit. Kita tidak tinggal di surga, dimana susu dan madu mengalir. Dunia penuh keterbatasan, sehingga kita tidak dapat mendapatkan semua sekaligus. Sedangkan politik adalah proses yang menentukan pandangan-pandangan (values) siapa yang akan berlaku di masyarakat. Sehingga, politik adalah proses untuk menentukan pilihan kita. Akibatnya ekonomi sangat dekat dengan politik.
Ada sejumlah anggapan dasar yang menjadi titik tolak konsep politik. Berikut adalah konsep politik yang saya kutip dari Monte Palmer dan William Thompson: Pertama, setiap masyarakat menghadapi kelangkaan dan keterbatasan sumber-sumber sehingga konflik timbul dalam proses penentuan distribusi.
Kedua, kelompok yang dominan dalam masyarakat ikut serta dalam proses pendistribusian dan pengalokasian sumber-sumber melalui keputusan politik sebagai upaya menegakkan pelaksanaan keputusan politik.
Ketiga, pemerintah mengalokasikan sumber-sumber yang langka pada beberapa kelompok dan individu, tetapi mengurangi atau tak mengalokasikan sumber-sumber itu pada kelompok dan individu yang lain. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak akan pernah menguntungkan semua pihak.
Keempat, ada tekanan secara terus-menerus untuk mengalokasikan sumber-sumber yang langka. Tekanan-tekanan berupa petisi, demonstrasi, protes, huru-hara, dan perdebatan dalam proses pemilihan umum yang berasal dari golongan yang tidak puas (tidak kebagian atau merasa dirugikan) terhadap pola distribusi sumber yang ada merupakan gejala umum dalam masyarakat.
Kelima, dengan meluasnya tekanan-tekanan, maka kelompok atau individu yang mendapatkan keuntungan dari pola distribusi sumber yang ada berupaya keras untuk mempertahankan struktur yang menguntungkan.
Keenam, makin mampu penguasa meyakinkan masyarakat umum bahwa sistem politik yang ada memiliki keabsahan (legitimasi), maka makin mantap kedudukan penguasa dan kelompok yang diuntungkan dalam perjuangan mereka menghadapi golongan yang menghendaki perubahan.
Pada setiap masyarakat, penguasa berusaha mempertahankan kekuasaannya yang istimewa. Upaya itu dilakukan dengan mencari pembenaran-pembenaran dalam bentuk ideologi, mitos nasional, ajaran agama, dan formula-formula politik lainnya.
Maksudnya, penguasa acap kali melakukan pembohongan atau setengah benar-setengah bohong untuk menyakinkan masyarakat.
Ketujuh, politik tetap merupakan the art of the possible, banyak kebijakan ideal yang dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi masyarakat ternyata hanya berupa pemecahan yang semu sebab sulit dilaksanakan dalam kenyataan.
Dalam dunia nyata, ada pelbagai kendala yang berupa watak manusia, kekuasaan, pranata-pranata sosial, kelangkaan teknologi, dan faktor tak terduga yang lain yang membatasi apa yang secara aktual dapat dilakukan.
Kedelapan, dalam politik tidak ada yang serba gratis. Maksudnya, setiap aksi yang dilakukan selalu ada ongkos yang harus dibayar atau risiko yang mesti ditanggung. Setiap usul kebijakan untuk memecahkan masalah selalu mengandung unsur untung-rugi. Bersambung