Iklim Investasi Migas Indonesia Dinilai Kurang Menarik
Selasa, 10 Mei 2011 | 11:47 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta - Salah satu faktor penyebab terus turunnya produksi minyak nasional dan kurang berkembangnya industri minyak dalam negeri disebabkan oleh iklim investasi di sektor perminyakan dan gas dalam negeri yang masih kurang menarik.
"Minyak kurang berkembang karena sistem fiskal dan iklim investasi kita kurang menarik," kata Widjajono Partowidagdo, anggota Dewan Energi Nasional sekaligus Guru Besar Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung , dalam Seminar Energi di Masa Depan Tantangan dan Pilihan Kebijakan, Selasa 10 Mei 2011.
Tidak menariknya iklim investasi migas di dalam negeri, di antaranya disebabkan oleh sistem fiskal yang tetap. Menurut sistem ini, nilai pembagian hasil antara kontraktor dan negara telah ditentukan terlebih dahulu. "Tidak seperti di Malaysia, kalau hasil produksinya kecil pemerintah dapat bagi hasilnya kecil. Kalau produksi besar dapatnya juga besar," kata dia.
Pola tersebut juga diterapkan oleh negara penghasil minyak di Asia lainnya, termasuk Papua Nugini. Oleh sebab itu, investor tertarik untuk menanamkan modalnya di negara tersebut. Perminyakan di negara itu pun dapat tertolong.
Belum lagi masalah birokrasi, seperti perizinan yang sulit, pembebasan lahan, persoalan tumpang tindih yang semakin membuat para investor agak berat menanamkan modalnya di Indonesia. Padahal, dengan keterbatasan teknologi saat ini peran investor masih dibutuhkan untuk meningkatkan produksi nasional.
"Kalaupun ada investor yang tertarik, mereka akan lebih berkonsentrasi di lapangan yang telah berproduksi," ujarnya.
Buruknya iklim investasi minyak dan gas Indonesia juga diakui oleh Lembaga Survei Independen Kanada. Berdasarkan data yang dimiliki mereka, kondisi investasi migas Indonesia berada di peringkat 111 dari 113 negara yang ada di dunia. Lebih buruk dari Kamboja,Thailand, bahkan negara-negara Afrika seperti Madagaskar dan Suriname.
Seperti diketahui, produksi minyak nasional kita saat ini hanya menyentuh angka rata-rata 916 ribu barel per hari, jauh di bawah target APBN 2011 yang ditetapkan sebesar 970 ribu barel per hari. Angka segitu tidak mampu menutupi kebutuhan konsumsi BBM yang dalam seharinya dapat mencapai hingga 1,3 juta barel.
Sementara, cadangan pasti minyak kita saat ini diperkirakan hanya sekitar 4,5 miliar barel dan akan habis dalam waktu 12 tahun mendatang apabila tidak terdapat kegiatan eksplorasi besar selama rentan waktu tersebut.
"Minyak kurang berkembang karena sistem fiskal dan iklim investasi kita kurang menarik," kata Widjajono Partowidagdo, anggota Dewan Energi Nasional sekaligus Guru Besar Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung , dalam Seminar Energi di Masa Depan Tantangan dan Pilihan Kebijakan, Selasa 10 Mei 2011.
Tidak menariknya iklim investasi migas di dalam negeri, di antaranya disebabkan oleh sistem fiskal yang tetap. Menurut sistem ini, nilai pembagian hasil antara kontraktor dan negara telah ditentukan terlebih dahulu. "Tidak seperti di Malaysia, kalau hasil produksinya kecil pemerintah dapat bagi hasilnya kecil. Kalau produksi besar dapatnya juga besar," kata dia.
Pola tersebut juga diterapkan oleh negara penghasil minyak di Asia lainnya, termasuk Papua Nugini. Oleh sebab itu, investor tertarik untuk menanamkan modalnya di negara tersebut. Perminyakan di negara itu pun dapat tertolong.
Belum lagi masalah birokrasi, seperti perizinan yang sulit, pembebasan lahan, persoalan tumpang tindih yang semakin membuat para investor agak berat menanamkan modalnya di Indonesia. Padahal, dengan keterbatasan teknologi saat ini peran investor masih dibutuhkan untuk meningkatkan produksi nasional.
"Kalaupun ada investor yang tertarik, mereka akan lebih berkonsentrasi di lapangan yang telah berproduksi," ujarnya.
Buruknya iklim investasi minyak dan gas Indonesia juga diakui oleh Lembaga Survei Independen Kanada. Berdasarkan data yang dimiliki mereka, kondisi investasi migas Indonesia berada di peringkat 111 dari 113 negara yang ada di dunia. Lebih buruk dari Kamboja,Thailand, bahkan negara-negara Afrika seperti Madagaskar dan Suriname.
Seperti diketahui, produksi minyak nasional kita saat ini hanya menyentuh angka rata-rata 916 ribu barel per hari, jauh di bawah target APBN 2011 yang ditetapkan sebesar 970 ribu barel per hari. Angka segitu tidak mampu menutupi kebutuhan konsumsi BBM yang dalam seharinya dapat mencapai hingga 1,3 juta barel.
Sementara, cadangan pasti minyak kita saat ini diperkirakan hanya sekitar 4,5 miliar barel dan akan habis dalam waktu 12 tahun mendatang apabila tidak terdapat kegiatan eksplorasi besar selama rentan waktu tersebut.