Kamis, 18 Agustus 2011

 

Memacu Lifting Minyak RI

Oleh : Widjajono Partowidagdo
Penemuan cadangan minyak sangat minim sejak 2003. Akibatnya, produksi minyak kita turun di bawah 1 juta barel per hari (bph). Menurunnya’ produksi minyak nasional bukan karena minyak kita sudah habis atau prospek eksplorasi di Indonesia rendah, melainkan Iebih karena investasi untuk eksplorasi yang sangat minim.
Soal cadangan, kita bisa berkaca Spada Malaysia, yang berhasil
menemukan prospek Kikeh di laut dalam, dengan cadangan sekitar satu (1) miliar barel. Kalau Malaysia saja yang wilayah lautnya tak seberapa berhasil menemukan cadangan minyak yang besar, Indonesia mestinya jauh lebih berlimpah dari negeri jiran itu. Selat Makassar, konon, kini menjadi perhatian perusahaan-perusahaan rakasasa minyak dunia.
Lalu, mengapa kita yang punya kekayaan alam (laut dan darat) berlimpah justru terseok-seok dalam hal produksi minyak? Berdasarkan data Top 135 Projects yang diterbitkan oleh GSRI (2007), Indonesia adalah negara berisiko tinggi (high risk) dalam hal investasi bidang migas. Bandingkan dengan Australia yang masuk katagori low risk dan Malaysia medium risk.
Tingginya risiko di Indonesia telah mengakibatkan perusahaan-perusahaan migas hanya berkonsentrasi pada mempertahankan produksi lapangan-lapangan yang sudah ada. Itulah yang mengakibatkan produksi minyak kita turun. Karena itu, perlu usaha untuk memperbaiki iklim investasi guna meningkatkan cadangan
dan produksi migas di Indonesia.
Perbaikan Menyeluruh Mengundang investor seperti mengundang pelanggan untuk rumah makan. Seseorang akan menjadi pelanggan apabila dia tahu dan mengenal rumah makan tersebut. Karen itu,` promosi sangat penting. Promosi saga juga tidak cukup karena pelanggan memiliki selera tertentu atas makanan yang disajikan. Makanan yang enak (sesuai selera) akan membuat pelanggan datang lagi. Makanya rumah makan hanya akan laku apabila makanannya enak, harganya bersaing, pelayanan, dan lingkungannya baik.
Dalam hal cadangan migas yang kita miliki, Indonesia perlu meningkatkan kualitas informasi tentang wilayah yang memiliki cadangan atau kekayaan migas yang ditawarkan. Data seismik serta studi geofisika dan geologi harus tersedia lebih baik, lengkap, terperinci, dan jelas.
Soal harga yang bersaing, hal itu bisa diwujudkan dengan sistem fiskal yang menarik. Perlu sistem fiskal yang fleksibel dan lebih menjamin keuntungan atau mengurangi risiko kontraktor dengan memberikan bagian pemerintah yang kecil untuk revenue/cost (R/C) yang kecil dan yang besar untuk R/C yang besar yang berlaku untuk minyak, gas dan coal bed methane (CBM). Hal ini perlu agar kontraktor lebih bersemangat untuk mengembangkan prospek perminyakan dengan biaya tinggi seperti daerah terpencil dan Taut dalam.
Pada masa lalu sistem fiskal yang menjadi bagian pemerintah tetap. Berapa pun keuntungan yang diperoleh, hal itu tidak menjadi masalah karena kegiatan-kegiatan dilakukan di daratan dantaut dangkal, primaryrecovery, dan lapangan yang relatif besar.
Kontrak bagi hasil dan kontrak lainnya harus dijiwai semangat kemitraan (partnership), dengan semangat pelayanan yang baik. Dalam hal kontrak bagi hasil, bahkan diperlukan perlakuan khusus bagi investor karena pemerintah mendapat 85% untuk minyak dan 70% untuk gas dari pendapatan bersih. Sebaiknya, tidak dikenakan pungutan-pungutan tambahan.
Cost recovery adalah untuk meningkatkan produksi dan dibayar oleh pendapatan dari produksi yang juga berlaku di pajak biasa. Membatasi costrecoverysama saja dengan membatasi•produksi karena eksplorasi belum tentu menemukan minyak. Mengenakan pajak pada waktu eksplorasi juga akan menurunkan peringkat investasi Indonesia.
Permasalahan-permasalahan di wilayah operasional migas juga harus diselesaikan segera, jangan berteletele, seperti pembebasan lahan. Permasalahan lainnya yang perlu mendspat perhatian dan dituntaskan segera adalah soal tumpang tindihnya aturan main antara pertambangan dan kehutanan. Masalah perizinan (penyederhanaan birokrasi), keharmonisan antara pusat-daerah dan antardaerah juga harus dituntaskan.
Hal yang juga sering menjadi bate sandungan dalam meningkatkan produksi migas adalah tak adanya koordinasi antarinstitusi terkait Kementerian Keuangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bappenas, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri, serta antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. lni harus menjadi perhatianjika kita ingin mendongkrak lifting minyak kits.
Perusahaan Nasional Peningkatan kemampuan nasional bidang migas tentu saja akan terjadi apabila ada keperpihakan pemerintah terhadap perusahaan dam negeri. Kontrak-kontrak migas yang sudah habis, misalnya, pengelolaannya sebaiknya diberikan kepada perusahaan nasional dengan mempertimbangkan program ket a,kemampuanteknis, dankeuangan.
Hal lain yang perlu dilakukan adalah pinjaman dari bank nasionaluntulcmem. biayai kegiatan produksi energi nasional, tentu dengan sikap kehati-hatian.
Sementara itu, lapangan-lapangan yang sudah ditemukan tetapi tidak mulai dikembangkan dalam waktu tertentu harus dikembalikan kepada pemerintah. Hal ini mempertegas Peraturan Menteri ESDM Nomor 03 Tahtm 2008 yang meminta kontraktor untuk melepaskan lapangan yang tidak diproduk sikan kepada perusahaan terpilih yang bersedia memproduksikannya.
Di Indonesia terdapat banyak lapangan yang tidak dikembangkan, bukan karena
tidak ekonomis tap karena tidak masukprioritas (portofolio) perusahaan. Padahal, kalau saja lapangan tersebut dikerjakan oleh perusahaan lain, terutama perusahaan nasional, itu tentu sajasangat menguntungkan. Hal ini akan meningkatkan produksi migas kita dan meningkatkan kemampuan nasional.
Perlu juga dijajaki kemungkinan kerja sama energi dengan negara lain, seperti denganIranyang memiliki cadang an gas nomor dua terbesar di dunia, Aljazair, dan Nigeria Dengan membantu memproduksikan gas dan LNG dari Iran, Aljazair, Nigeria, dan negara-negara lain, maka Indonesia bisa mendapatkan bagi hasil yang menguntungkan. ^
Penulis adalah Guru Besar Program Studi Teknik Perminyakan ITB
Sumber : INVESTOR DAILY, 16 Mei 2011
Sumber Gambar: majalahtambang.com